Fromob 9

15 5 0
                                    

Bayang-bayang masa kecil itu hilang. Berganti bayangan kecelakaan. Tragedi kecelakaan yang sangat ingin Radev lupakan. Kejadian yang merubah segalanya. Keluarganya, sikapnya, dan kehidupannya. Hancur sudah. Lenyap semua kebahagiaannya. Yang ada hanya rasa sepi. Keluarganya berantakan. Tak ada lagi kasih sayang. Tak ada lagi pelukan dan perbincangan hangat. Tak ada. Akankah semuanya kembali. Radev melihat dirinya sendiri yang sedang berdiri kaku beberapa meter dari mobil kakaknya yang telah rusak setengah. Dirinya terdiri kaku, kakinya seperti melekat pada bumi. Ia tak tahu harus berbuat apa. Tangis histeris mamanya terdengar sangat menyakitkan.

Ayahnya sedang berbicara dengan petugas hukum. Ia ingin kasus anak sulungnya diusut sampai tuntas. Ia ingin keadilan untuk Satya. Dan ada seorang gadis berambut panjang juga menunduk dengan bahu bergetar. Mungkin ia juga menangis. Radev tak dapat melihat dengan jelas wajah gadis itu karena gadis itu menunduk. Hanya rambut panjang yang menjuntai ke bawah mengikuti gravitasi. Gadis itu berdiri di mobil hitam sederhana yang bagian depannya telah remuk menabrak mobil merah, tepat di belakang mobil Satya. Tak jauh dari mobil hitam itu terdapat pula wanita paruh baya yang hanya bisa menangis sambil meringkuk memeluk lututnya. Sepertinya mereka keluarga dan juga berasal dari keluarga yang sederhana. Radev lihat tak ada yang mempedulikan bagaimana keadaan orang dalam mobil itu. Para petugas medis dan hukum hanya melayani korban dengan mobil-mobil mewah. 'Pemandangan macam apa ini? Bagaimana mungkin tak ada yang peduli dengan kedua wanita beda usia yang tak berdaya seperti mereka?' Radev tak tega melihat hal itu. Namun apa yang dia lakukan pada waktu itu? Ia memandangi dirinya sendiri. Dirinya hanya bisa berdiri kaku tak bertindak sedikit pun. 'Apa yang gue lakuin sih? Kenapa gue bodoh banget? Kenapa?!' Radev meruntuki kebodohannya sendiri, tapi bisa apa? Hanya bisa memandang kehidupan dari sisi yang berbeda. Sisi yang sebelumnya belum pernah ia tau. Sungguh bodoh dia karena hanya memandang dunia dari sudut pandang hidupnya sendiri, ia merasa hidupnya sangatlah menderita. Penilaian yang sangat dangkal bukan.

Bayang-bayang kecelakaan telah berganti lagi. Sekarang ia melihat dirinya sendiri terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ada seseorang yang berdiri menatapnya kasihan.

"Apakah kau tak ingin bangun? Apa enaknya kau di sana? Kau tak ingin melihat orang yang kau sayangi lagi? Atau kau tak punya orang yang disayangi? Sungguh pemuda yang mengenaskan, diusiamu yang terbilang muda kau harus hidup sendirian."

Radev mendengar itu, ia mendengarnya tapi tubuhnya masih belum mau bangun.

"Apa kau tak ingin bertemu lagi dengan Riri?"

'Bagaimana ia bisa tau?' pikir Radev.

"Sudahlah sepertinya kau tak akan bertahan lama. Sebentar lagi kau pasti mati dan tak akan bertemu Riri lagi. Andai saja kau bangun pasti akan ku pertemukan dirimu dan Riri." Pria tadi berbalik sambil tersenyum miring. Ia tahu bahwa Radev akan segera sadar. Ia hanya perlu memicu sedikit rasa penasaran Radev agar otaknya mampu membuat tubuhnya terbangun. Pria itu berjalan beberapa langkah.

Radev tak tahan hanya dengan mendengar ini. Entah kenapa ia langsung terbangun dari komanya dan segera terduduk di ranjang sambil menoleh pria tadi. "Apa lo kenal Riri?" Radev benar-benar berbicara langsung. Ia sudah sadar. Tak ada lagi bayang-bayang. Ini sudah kembali ke dunianya lagi. Pria tadi berbalik dan tersenyum puas. Ia berjalan mendekati Radev. "Akhirnya kau bangun," kata pria itu sambil memeriksa keadaan Radev. Jangan lupa kalau dia adalah perawat! Ia tak perlu izin dokter untuk memeriksa keadaan pasien. "Siapa Riri?" Radev mengabaikan  kalimat pria tadi dan kembali bertanya heran. "Entahlah aku juga tak tahu, nama itu sering kau sebutkan dalam masa komamu." Pria tadi masih fokus memeriksa keadaan Radev.

"Gak usah terlalu formal, gue rasa perbedaan umur kita tak terlalu jauh."

"Oh ... ok, aku Raditya, seperti yang kamu lihat aku seorang perawat di rumah sakit ini. Dan aku baru saja pindah tugas jadi aku tak tahu siapa kamu."

"Begitu lebih baik, gue Radev. Sebaiknya lo gak usah tahu siapa gue. Lo cukup tahu kalo gue adalah pasien di sini aja. Gak lebih. Dan sekarang tanggal berapa?"

"Sekarang tanggal 12 Mei, kamu sudah koma sekitar em ... 3 hari 2 malam mungkin."

"Terus apa ada yang dateng ke sini? Bukan-bukan apakah ada yang tahu kalau gue dirawat di sini?"

"Sepertinya gak ada, di ponselmu tak tertera nomor keluarga dan riwayat panggilan dari siapa pun, aplikasi WA mu terkunci dengan kata sandi. Pihak rumah sakit tak dapat membuka ponselmu. Jadi, tak ada informasi untuk sekedar mengabari keluargamu. Lagi pula sepertinya tak ada yang mencarimu, apakah kau anak terlantar?"

"Bisa iya bisa nggak. Sebentar, gue tadi tanya tentang Riri dan lo jawab gak tau. Lo bilang kalo gue sering sebut nama dia. Dan saat gue gak sadar tadi gue rasa gue ketemu Riri. Gue juga denger kalo lo mau bantuin gue ketemu Riri. Lo jadi bantu gue kan?"

"Cerewet sekali. Kamu baru saja sadar tapi sudah bisa berbicara sebanyak tadi. Sebaiknya kamu istirahat dulu sebentar lagi dokter akan memeriksa keadaanmu lebih lanjut. Sampai jumpa." Pria tadi segera membereskan peralatannya dan keluar dari ruang rawat Radev.

"Eh ... gue belum selesai ngomong. Jangan pergi dulu!" Radev mencoba berteriak pada pria perawat tadi, tapi hal itu sia-sia karena perawat tadi sudah pergi meninggalkan Radev di ruangannya. Radev hanya bisa duduk termenung. Pikirannya di penuhi dengan teka-teki. Satu pertanyaan yang mengusik pikiran Radev. 'Siapa Riri?'

***

Gadis itu sampai di halaman depan rumah menuju pintu masuk , ia sangat senang karena akan ada seorang teman yang datang berkunjung. Sore tadi ia tak bisa pulang bersama temannya karena ada panggilan mendadak dari orang rumah. Orang yang seharusnya ia panggil dengan sebutan 'ibu'. Mau tak mau ia harus pulang duluan. Baru saja ia membuka pintu depan, tampak seorang wanita paruh baya dengan wajah garang menyambutnya. Senyumannya pudar. Tak ada lagi rasa senang. Wanita itu yang memanggilnya, ibunya sendiri. Wanita ini baginya tak pantas disebut sebagai seorang ibu. Gadis itu berdiri terdiam di ambang pintu.

"Kenapa telat?! Kamu lupa kalau kamu harus bekerja sore ini? Apa kamu sudah berani melawanku?" Kalimat itu terlontar dengan nada penuh curiga. Gadis itu sangat benci dengan pekerjaannya. Ia tak ingin pekerjaan itu. Pekerjaan yang sangat mengerikan baginya. "Jangan hanya berdiri di situ gadis bodoh! Segeralah ganti baju dan bekerja!" Ibunya menariknya paksa. Ia menariknya ke sebuah ruangan khusus. Wanita itu mengambil sebuah baju yang ia sebut dengan 'seragam'. Sungguh ia ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Ini adalah alasannya benci menjalani hidupnya. "Cepet pake gadis kecil!" Gadis itu menggeleng kuat. Akankah temannya datang saat keadaannya seperti ini. Ia tak ingin bertemu dengannya dengan kondisi seperti ini. Ia tak mau temannya pergi menjauh karena tau sisi gelapnya. "Jangan melawan gadis brengsek!" Wanita itu menjambaknya. Wanita yang ia sebut ibu. Ibunya sendiri menjambaknya! Ini adalah alasannya. Ini alasannya ia terus menyakiti diri sendiri.

Ia sudah terbiasa dengan rasa sakit ini telah terbiasa. Rasanya bagai makanan sehari-hari. Mau tak mau ia harus menikmatinya bukan?

"Cepat pakai gadis bodoh! Kamu gak mau kan aku jual? Cepat atau kau akan dapat paket hadiah spesial dari neraka. Kamu gak mau itu kan?" Wanita itu mengelus rambutnya. Ia memang ingin rambutnya dibelai oleh ibunya. Namun bukan seperti ini, ia ingin belaian penuh kasih sayang bukan ancaman seperti ini. Bukan.

Gadis itu hanya bisa mengangguk lemah. Ia tak punya pilihan lain, bukan tak punya tapi ia tak diperbolehkan untuk memilih ia tak diberikan hak itu. Kebebasan. Hanya itu. Namun mengapa masih tak bisa. Ia hanya bisa menangis pasrah sambil mengenakan 'seragam' yang di berikan ibunya tadi. Sebelum ia bekerja ia mengirimkan sebuah pesan singkat ke temannya.

Lo mampirnya kapan-kapan aja. Hari ini gue mau pergi ke tempat nyokap kerja.

Frobly-MoblyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang