Fromob 8

16 3 0
                                    

Satu orang teman. Sebuah pencapaian bagi Bia. Kini ia memiliki teman walau itu hanya satu. Sayang sekali mereka beda kelas dan jurusan. Setidaknya Bia tak merasa sepi saat Radev tak ada. Sudah tiga hari Radev tak masuk sekolah. Bia ingin mengunjunginya, ia ingin memastikan kalau malaikat maut tampan itu masih hidup. Tak mungkin kan kalau seorang malaikat maut tampan mencabut nyawanya sendiri? Atau mungkin? Entahlah pikiran Bia bercabang kemana-mana.

Belakangan ini Bia sering bertemu dengan Al untuk sekedar berbagi cerita saat jam istirahat tiba. Al lebih banyak bercerita dan Bia yang mendengarkan. Bia tahu setiap cerita kesal yang diungkapkan Al pasti ada kisah pilu di belakangnya. Setidaknya Al sudah tak melukai dirinya sendiri. Bia sendiri sudah sangat senang sekarang karena ia mempunyai teman, itu sudah cukup baginya. Ia tak perlu seorang teman yang kaya dan cantik atau tampan. Ia hanya ingin dianggap. Itu saja.

Kali ini Bia dan Al sedang duduk bersama di taman belakang. Bia sedang memakan bekalnya dan Al terus saja bercerita tentang adiknya. "Sumpah Bi, gue tuh kesel banget ama adek gue. Tiap dia nangis gue terus yang disalahin padahal gue gak nyentuh dia sedikit pun. Orang tua gue jadi gak perhatiin gue sedikit pun. Bahkan mereka udah gak liat gue lagi saat gue lewat di depan mereka. Hiks...hiks." Seperti inilah Al, saat dia cerita ia larut dalam emosi dan seringkali menangis. "Sabar aja, Al. Seenggaknya lo punya temen buat diajak maen pas di rumah. Lah gue anak tunggal, Al. Selalu sendirian di rumah. Gak ada temen. Bersyukurlah walau dikit." Bia menasehati Al padahal dirinya sendiri belum mengerti arti bersyukur dengan benar.

"Kalo lo punya adek kek gue pasti lo juga kesel deh, Bi. Serius."

"Mana mungkin? Kan gue gak punya adek."

"Ya udah nanti kalo mau pulang lo tungguin gue, lo cek aja gimana keadaan rumah gue. Pasti lo juga gak akan betah deh, Bi."

"Oke, lo sekolah naik apa?"

"Gue naik angkot."

"Ntar tunggu gue di pos satpam kalo lo pulang duluan dan sebaliknya. Gue anter lo ke rumah sekalian mampir."

"Beneran? Lo gak bakal jijik pas liat rumah gue?"

"Beneran gue janji."

***

Di rumah sakit Cendikia Indah, seorang pemuda terbaring lemah di ruang Mawar nomor 3. Sebuah riang VVIP untuk merawat pasien, ruangan ini seperti hotel bintang lima. Fasilitasnya lengkap, tapi apa gunanya menempati ruangan mewah jika kau terbaring tak berdaya di dalamnya. Ragamu di atas bankar pasien, jantungmu masih berdetak tapi lemah. Nafasmu juga masih bersikulasi namun pikiranmu dan kesadaranmu tak ada. Sudah tiga hari Radev berbaring tak sadarkan diri di ruangan ini. Tak ada seorang pun yang mengunjunginya, bahkan orang tuanya sendiri tampak tak peduli.

Seorang insan baik hati telah menyelamatkannya, orang yang belum pernah ia temui sebelumnya. Ia tak kaya, tapi ia yakin kalau Radev merupakan seorang anak orang penting. Bisa dilihat dari KTP-nya. Dan ia rasa sepertinya pegawai di rumah sakit ini sangat mengenal Radev. Oleh karena itu, Radev di tempatkan di ruangan VVIP. Pria yang baik, saat ini ia sedang menatap tubuh Radev yang terbujur kaku tak berdaya. Semua alat medis bersarang di tubuh pemuda itu untuk menopang kehidupannya.

"Sampai kapan kau akan terbaring seperti ini? Apa kau tak rindu keluargamu? Dan kemana semua keluargamu saat keadaanmu seperti ini? Sungguh remaja yang malang." Pria itu menggeleng tak percaya, di lihat dari penampilannya pria ini bukan dari golongan atas. Ia hanya perawat biasa. Ia baru saa pindah tugas untuk bekerja di rumah sakit ini. Jadi, ia tak begitu tau tentang Radev. Ia tahu kalau Radev mendengar semua ucapannya, hanya saja kesadarannya masih melayang ke mana-mana. Ia menatap malang pada Radev, bagaimana mungkin tak ada seorang pun yang mencari pemuda ini. Pria muda ini sama sekali tak mengenal Radev. Ia hanyalah staf ambulans yang dihubungi salah satu koordinator balap liar itu. Entah kenapa ia merasa sangat kasihan melihat Radev. Ia jadi ingat keponakannya, bedanya keponakannya adalah cewek. Kira-kira usianya hampir sama dengan Radev. Mengingat tentang keponakannya, ia mungkin akan berkunjung setelah habis shift. Mendadak ia ingin bertemu dengan keponakan satu-satunya itu.

"Hei, aku tahu kau dapat mendengarku. Jadi, ku harap kau tak mati dulu. Akan ku kenal kan kau dengan seorang bidadari kecilku. Aku janji. Segeralah sadar dan buka matamu! Kau mungkin akan menyukainya. Hahaha ... ku tunggu sadarmu! Dan ingat jangan mati dulu!" Pria itu terus saja memberikan nasehat pada Radev yang tak sadarkan diri. Ia segera pergi setelah memeriksa keadaan Radev sejenak.

***
Di bawah alam sadar Radev...

Radev terbangun. Ia menatap sekitar, ia tak pernah ke sini sebelumnya. Atau mungkin pernah? Entahlah ia tak ingat. Ia menelusuri daerah ini, sebuah taman belakang yang asri. Ada sepasang anak kecil sedang bermain, sepertinya ia kenal dengan anak kecil laki-laki gembul itu. Wajahnya tak asing. Radev melihat ke anak yang satunya, seorang gadis kecil dengan kuncir dua di kepalanya. Ia rasa gadis ini adalah teman si gembul ini. Keduanya saling berhadapan, gadis kecil dan si gembul. Posisi si gembul ini membelakangi Radev. Radev tak bisa melihat wajah si gembul ini.

"Angga nanti kalo besar kamu mau jadi apa?" gadis kecil itu bertanya dengan lucu. Ia bertanya tapi pandangannya masih tertuju pada robot-robotan transformer miliknya. "Aku mau jadi produser film horror. Kalo kamu?" Si gembul mengangkat kamera kecilnya dengan bangga. Gadis kecil itu sedang mencopot tangan dan kaki robot transformer kuning. 'Apa gadis ini psychopat?' Radev meringis melihat perlakuan gadis kecil itu pada robotnya. "Aku mau jadi handphone aja deh," ucap gadis kecil itu dengan lugu sambil mencopot kepala robotnya. Kasihan si robot sedang dimutilasi dengan psychopat cilik. "Kenapa jadi handphone?" Si gembul bingung dengan ucapan si gadis kecil.

"Soalnya akhir-akhir ini papa sama mama jarang sayang sama aku, mereka sering lihatin handphone mulu."

"Mereka pasti ada alasan kan pegang handphone mulu. Kalo kamu cemburu sama handphon biar aku banting handphone papa-mamamu." Si gembul berdiri gagah.

"Emang kamu berani?" Gadis kecil itu menatap remeh pada si gembul.

"Enggak juga sih hehe." Si gembul menggaruk kepala dan tertawa.

"Dasar ompong gendut, sok-sokan berani padahal penakut. Payah."

"Daripada kamu pendek! Kayak tuyul!" Si gembul kembali mengejek gadis itu sambil berkacak pinggang.

"Kamu gendut! Kamu jelek! Aku gak suka!" Gadis kecil itu mulai marah dan mendorong si gembul sekuat tenaga. Si gembul pun jatuh terlentang tak berdaya. 'Dasar lemah! Badan aja gede tapi letoy gak ada tenaga. Eh bocil itukan ... Gue! Ngapain gue di sini. Dan siapa gadis kecil psychopat itu?' batin Radev. Ia baru sadar kalau si gembul itu adalah dirinya saat masih TK. Namun ia masih lupa dengan gadis kecil psychopat itu siapa.

Si gembul bangkit. Ia mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah kalung mainan dengan liontin karakter angry bird merah. Ia mendekati gadis kecil yang masih marah itu. Gadis itu menunduk dan mengepalkan kedua tangannya. Radev kecil yang gembul itu menyentuh bahu gadis kecil itu, gadis itu menatap Radev gembul. Wajahnya merah menahan marah. Sorot matanya seperti kobaran api. "Apa!" Gadis itu memberengut. Ia masih marah.

"Ini Angga mau kasih kalung ini buat Riri. Angga gak yakin kali Riri suka tapi simpen aja ya. Bentar lagi Angga mau pergi dari sini. Riri jangan kangen sama Angga. Kalo besar kita pasti ketemu lagi. Angga janji." Raut muka Riri berubah. Matanya jadi merah berair, air mata itu bagai bendungan yang akan runtuh di pelupuk mata. Ia menahan isak tangisnya. "Riri jangan nangis dong ntar tambah jelek," Radev kecil berusaha menghibur Riri. Kalimat penghibur macam apa itu. Radev baru ingat kalo dulu ada satu orang yang memanggilnya Angga. Namun ia masih tak ingat siapa Riri. Tangan kecil Riri meninju perut gembul Radev kecil. "Aks..." Radev kecil meringis kesakitan. "Riri gak jelek ya! Angga aja yang jelek, Riri mah cantik seperti bidadari turun dari kahyangan. Makasih hadiahnya Riri suka kok." Gadis kecil bernama Riri itu mengambil kalung mainan tadi dan langsung memakainya di leher. 'Lemah banget sih gue dulu.' Radev menggeleng melihat penampakan dirinya dulu yang gembul, ompong, jelek. Ini bukan dunianya. Ia harus kembali dan menemui Riri untuk balas dendam.

Frobly-MoblyМесто, где живут истории. Откройте их для себя