Fromob 7

23 9 11
                                    

"LO BAKAL RASAIN ITU SEKARANG, BI!" Radev mengangkat pisau itu dan menjatuhkannya tepat di dada Bia. Di jantung lebih tepatnya. Pisau itu tertancap tepat di jantung Bia. Mata Bia melebar melihat apa yang Radev lakukan.

"Ra ... dev lo--"

"Bangun, Bia! Bangun!" Suara mamanya menyadarkannya. Ia terbangun. Bia langsung duduk mengatur nafasnya. Keringat mengucur membasahi tubuhnya. Badannya gemetaran. "Hah ... hah ... hah." Rita tampak khawatir dengan keadaan putrinya saat ini. Ia mendekatkan tubuhnya dan merengkuh tubuh kecil putri semata wayangnya.

"Kamu kenapa, Bi? Dari tadi kamu menangis dalam tidurmu. Tubuhmu juga gemetaran. Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Cerita sama Mama, Bi. Pasti Mama dengerin kok." Bia masih terdiam mencoba mencerna apa yang terjadi. Semua itu hanya mimpi, tapi kenapa semuanya tampak nyata. Raut wajah Radev dalam mimpinya pun sangat jelas menampakkan duka yang mendalam. Bia mengamati sekeliling. Ia melihat jendela. Semburat cahaya jingga memasuki kamarnya. "Jam berapa sekarang, Ma?" Bia menatap mamanya dengan sorot gusar.

"Sekarang jam 6 pagi. Sebaiknya kamu cepat bersiap dan pergi sekolah. Hari ini kamu gak usah jualan di sekolah dulu. Nanti ambil bekal di dapur ya." Rita mencium sejenak kening Bia, mencoba menenangkannya. "Iya, Ma." Rita turun ke dapur untuk kembali memasak dan menyiapkan bekal Bia. Ia sangat khawatir tadi. Saat ia hendak ke kamarnya untuk mengambil barang, ia mendengar isak tangis tertahan di kamar putrinya. Tanpa ragu ia langsung masuk. Badan Bia terus saja gemetaran dan berguling ke kanan dan kiri tampak ketakutan. Matanya masih terpejam tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia sedang terancam. Rita berasumsi kalau Bia mengalami mimpi buruk. Entah kenapa sikap Bia berubah menjadi pribadi yang sangat tertutup pada dunia luar semenjak kematian ayahnya, Hendra. Mungkin saja Bia masih syok, menyadari kalau sosok pahlawannya telah tiada.

Rita sendiri mencoba untuk menerima Nirwan, ayah tiri Bia yang jahat. Sebenarnya Nirwan tak jahat tapi keadaan telah mengubah sikapnya. Bagaimana pun Rita harus tetap menerima dan mencintai Nirwan agar terhindar dari depresi mengingat mendiang Hendra. Bahkan ia tetap bertahan dengan Nirwan yang selalu kasar padanya. Ia rasa luka fisik lebih baik dari pada luka secara psikis. Luka fisik masih bisa diobati tapi luka psikis sulit penyembuhannya. "Ma, mana bekalku. Bia udah siap, mau berangkat sekarang." Suara Bia mengembalikan Rita pada realita. Realita yang sungguh menyiksa. Ia mungkin mencoba untuk melupakan masa lalunya dengan Hendra, tapi ada Bia yang harus ia besarkan. Perawakan Bia sangat mirip dengan Hendra. Bahkan wajahnya, Bia merupakan wujud gadis dari mendiang Hendra. Seringkali Rita teringat Hendra saat menatap putri semata wayangnya ini.

"Ma? Mama ngelamunin apa sih?" Bia melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah Rita. "Eh ... hiya. Ini. Hati-hati ya. Belajar yang bener biar sukses." Rita menyodorkan kotak makanan kepada Bia. "Siap, Ma. Bia berangkat dulu. Assalammu'alaikum." Bia pamit dan mencium tangan Rita. Ia segera mengambil motornya dan berangkat ke sekolah.

***
Bia berangkat sekolah seperti biasa. Suasana pagi ini agak beda, seperti ada yang kurang. Tapi apa? Kelas ramai tapi dia merasa sepi. Tak ada yang dekat dengannya. Bia bosan. Ia mengambil ponselnya dan mengutak-atiknya. Ia ingin mencoba membuat sesuatu di ponselnya. Asik dengan kesibukannya Bia tak sadar jika guru sudah masuk kelas.

Guru mengabsen siswa yang ada.
"Radeva Manggala?" Tak ada yang menjawab. Semua orang saling pandang sejenak. Bersikap seolah mereka peduli. Padahal sikapnya hanyalah sebuah formalitas belaka. 'Radev gak masuk hari ini? Pantes kayak ada yang kurang,' batin Bia. Ia hanya menatap sejenak bangku kosong di sebelahnya. Biasanya ada sosok menyebalkan yang menghuni bangku itu. Sekarang Bia merasa benar-benar sendiri. Ternyata kehadiran Radev cukup mempengaruhinya. "Bia? Kamu gak tahu Radev dimana?" Guru itu menghampiri Bia yang masih menatap sebelahnya. "Eh ... Gak tahu, Bu." Bia segera menatap gurunya. Ia juga bingung kenapa Radev tidak masuk sekolah hari ini.

Frobly-MoblyWhere stories live. Discover now