Fromob 25 (end)

15 0 0
                                    

Malam hari Bia kembali diam. Pikirannya sedang merangkai semua fakta yang ia ketahui beberapa hari terakhir ini. Diamnya Bia kembali mengusik Radev. Setelah makan malam Bia  kembali ke kamarnya. Radev mengikutinya dari belakang. Bia tahu itu. Sampainya di kamar dia berdiri menghadap pintu. Ia menatap Radev yang hendak masuk ke kamarnya juga. Raut wajah Bia sulit dijelaskan, antara kecewa, sedih, dan kesal.

"Kenapa lo gak cerita dari awal, Dev?"

"Cerita apa, Bi?"

"Tentang kecelakaan di turunan 27. Lo tahu sesuatu kan, Dev! Tapi lo diem aja gak pernah cerita!"

"Duduk di sini dulu, Bi. Jelasin apa yang lo tahu dari turunan itu, Bi." Radev duduk bersila di karpet dekat tempat tidur Bia. Bia menuruti Radev. Ia duduk di depan Radev.

"Abang lo kecelakaan di situ kan, Dev?"

'Kenapa Bia tahu ini? Dan darimana?' batin Radev bingung.

"Gue tahu dari nyokap lo, pulang sekolah tadi gue ketemu dan bicara banyak sama dia," jawab Bia seolah ia bisa membaca batin Radev.

"Kenapa lo pengen banget tahu kehidupan keluarga gue, Bi? Dan kenapa lo marah karena gak cerita tentang kecelakaan itu?"

"Untuk pertanyaan yang pertama gue peduli dan kasihan sama nyokap yang lo bentak di kafe waktu itu. Yang kedua lo salah karena gak terus terang sama gue tentg kecelakaan itu. Padahal kemaren malem gue udah cerita tentang kepergian bokap gue karena kecelakaan itu, Dev. Lo tahu cerita lain di kecelakaan itu dan lo milih bisu!" Wajah Bia memerah menahan amarahnya.

"Gue takut, Bi."

"Takut apa, Dev apa!"

"Gue takut lo diemin gue lagi. Entahlah gue juga bingung ama diri gue sendiri. Mungkin karena lo satu-satunya orang yang udah peduli sama gue, gue jadi takut lo  ngusir gue dari sini dan paling parahnya lagi lo bakal diemin gue selamanya. Percayalah gue gak mau didiemin sama orang yang udah baik dan tulus peduli sama gue, Bi. Gue juga takut kalo nanti lo cerita sama Tante Rita, dia pasti langsung benci banget sama gue Bi. Di sini gue ngerasa ada dalam keluarga yang sesungguhnya. Walau sederhana di rumah ini kehangatan antar keluarganya sangat terasa. Gue pengen lebih lama lagi tinggal di sini Bi. Gue... "

"Dev, maaf atas sikap gue yang random ini. Gue sendiri gak tahu harus gimana. Jujur gue bakal lebih sakit dan bakal ngelakuin semua yang lo ucapin barusan kalo gue tahu ini dengan sendirinya bukan dari lo atau nyokap lo. Dan ya sekarang lo kalo mau cerita, ya cerita aja. Dari sudut pandang lo sendiri gue siap dengerin." Radev mengangguk. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Ia perlu mengatur nafasnya sejenak.

"Oke, gue harap lo gak nyela omongan gue dulu. Dengerin aja sampai selesai baru komen atau kasih masukan apapun itu. Ini perintah bukan permintaan yang bisa lo tolak." Radev memperingati Bia. Ia hanya ingin menjadi pendengar yang baik untuk yang satu ini.

"Iya." Bia mengangguk mantap.

"Ya, lo tahulah kapan kecelakaan ini terjadi. Awalnya ya gue sekolah aja dengan biasa. Pagi hari juga masih damai di rumah gue, walau gue jarang nimbrung juga saat sarapan. Tapi keadaannya benar-benar damai. Bahkan abang gue masih bercanda waktu sarapan. Saat masih jam sekolah, mungkin satu jam setelah istirahat pertama. Tiba-tiba guru BK panggil gue. Gue heran dong, karena gue merasa gak ada salah apapun karena gue anak baik-baik. Dulu. Sampai di ruang BK, gue dikasih kabar buruk kalau abang gue kecelakaan. Gue panik. Tanpa izin ke guru gue langsung berangkat ke tempat kecelakaan itu buat mastiin. Gue gak percaya kalau yang kecelakaan itu bener-bener abang gue. Sampainya di lokasi gue gak bisa apa-apa. Banyak polisi dan staf rumah sakit di situ. Banyak juga media massa yang dateng. Keadaannya tambah kacau gara-gara banyaknya media massa yang hadir di tempat itu. Mobil ambulans yang seharusnya bawa abang gue dan korban lainnya ke rumah sakit gak bisa lewat gara-gara semua wartawan dan kameramen itu. Butuh waktu lama agar mereka sampai ke rumah sakit terdekat. Dan apa yang terjadi? Semuanya udah terlambat. Semua korban yang diangkut sama ambulans itu meninggal karena kehabisan darah. Bokap gue marah besar karena itu. Dia mengancam akan mengajukan tuntutan pada semua karyawan media massa yang bekerja di TKP waktu itu. Makanya gak ada media massa yang berani nampilin berita kecelakaan waktu itu. Polisi pun berhenti nyelidikin kecelakaan itu karena perintah bokap. Dan apa yang bisa gue lakuin waktu itu? Gue cuma bisa diem kayak patung di deket tiang listrik di situ. Gue cuma bisa liat. Gue masih belum bisa nerima apa yang udah terjadi waktu itu. Gue baru sadar apa udah terjadi waktu liat ada seorang gadis seumuran gue yang nangis berlutut sama ibunya di deket mobil belakang mobil abang gue. Di saat semua wartawan, polisi dan staf rumah sakit sibuk ngurusin abang gue, mereka berdua cuma bisa nangis. Seolah tak ada yang peduli sama keluarga mereka. Mereka itu lo sama nyokap lo, Bi. Gue tahu itu setelah lo cerita kemaren malem. Jujur gue merasa bersalah banget setelah denger lo cerita. Gue merasa manusia yang paling jahat di dunia ini. Tanpa sengaja keluarga gue yang bikin keluarga lo menderita. Dan dengan kurang ajarnya gue malah numpang di sini. Di rumah keluarga yang udah keluarga gue sakitin, Bi. Karena itu gue gak cerita tentang ini sebelumnya. Gue takut lo dan nyokap lo bakal ngusir gue dan gak bakal peduli lagi sama gue, Bi." Radev berhenti sejenak. Ia menunduk. Ia merasa tak pantas untuk menatap Bia. 

"Udah ceritanya, Dev?" Radev mendongak. Menatap wajah Bia. Raut wajah Bia bisa dikatakan biasa saja. Ia tak menampakan raut wajah marah ataupun kecewa. Radev menatapnya heran.

"Lo nggak marah, Bi?"

"Buat apa gue marah? Marah sama lo juga gak bakal bikin bokap gue balik. Semuanya udah terjadi. Kita cuma bisa ikhlas nerimanya, Dev." Radev tak percaya bahwa masih ada orang yang baik dan setulus Bia.

"Emm btw nyokap lo marah nggak kalo tahu ini? Jujur gue masih takut diusir dari sini."

" Kita liat aja besok. Mana Radev yang suka ngancam gue dulu, yang suka gangguin gue terus, Radev sosok malaikat maut tampan pemaksa yang ada dan satu-satunya di dunia ini? Mana? Kenapa lo jadi penakut gini? Hilang kemana semua kesongongan lo waktu itu kemana, Dev!" Bia mengguncang-guncang bahu Radev. Mencoba membangunkan sosok pemarah Radev yang dulu. Radev si penakut sangatlah tidak cocok dengan wajah tampan nan sombong ini.

"Hilang ke telen bumi, Bi. Udah runtuh sosok Radev yang angkuh itu. Sekarang lo liat sosok gue yang sebenarnya. Manusia yang sangat penakut akan kesepian dan tidak dipedulikan." Raut wajah Radev menjadi sendu. Ayolah, Bia tak bermaksud seperti itu! Ia tak ingin Radev merasa bersalah pada dia dan ibunya.

"Lo mau jadi Angga yang penakut dan pengecut dulu? Yang sekali jotos ama cewek nakal kecil langsung kalah? Lo mau kayak itu lagi, Dev? Hemm?"

Radev terdiam sambil menatap Bia tak percaya. Lagi. Kali ini ia tak percaya bahwa Bia menyadari dirinya yang dulu.

"Kaget, kan? Ini gue Riri dan lo Angga. Gue udah inget semuanya lagi, Dev. Kita pernah temenan akrab dulu. Terus lo pindah. Dan gue udah gak pernah ketemu sama lo lagi sejak itu. Terlebih lagi gue shock berat waktu meninggalnya bokap. Beberapa ingatan masa lalu gue ikut terlupakan gara-gara depresi. Dan kemaren waktu lo panggil gue dengan sebutan 'Riri' ajaibnya gue inget semuanya lagi, Dev."

"Sekarang gue boleh peluk lo, nggak, biri-biri?" Radev mendekat ke arah Bia. Bia mendorong dada Radev yang semakin mendekat. Tak lupa matanya sudah membulat sempurna, mencoba menakuti Radev. Radev peka, ia kembali mundur lalu menahan tawa.

"Panggilan jelek apa itu! Masa gue dipanggil biri-biri?! Temennya shaun the sheep dong! Dasar rang-rang!"

"Hahaha panggilan gue rang-rang! Kagak sekalian ditambahin kata 'semut' di depannya? Hahahaha...!"

"Kita impas! Dan ya lo jangan seneng dulu, besok lo bakal tahu gimana respon nyokao gue denger cerita tadi dari lo dan keluarga lo. Sekarang lo keluar gue mau tidur ngantuk! Besok ke kafe deket kantor nyokap lo! Ini perintah mutlak gak bisa diganggu gugat oleh terdakwa! Bye...bye besok pas istirahat makan siang di kafe itu! Malam!" Dengan sekuat tenaga Bia menarik tubuh besar Radev agar berdiri dan menyeretnya keluar. Radev hanya bisa pasrah. Pada akhirnya ia harus bercerita sendiri pada Maya tentang kecelakaan itu.

BRAAK ... CEKLEK

Suara pintu tertutup dan di kunci dari dalam meninggalkan Radev terlantar bagai tunawisma yang diusir dari emperan toko.

Frobly-MoblyWhere stories live. Discover now