Fromob 18

10 1 0
                                    

Sekali lagi Radev pergi dengan kecewa. Ia sudah mengira semuanya tapi tentu saja ia juga berharap akan berakhir dengan berbeda. Ia kembali ke rumah Bia. Ia perlu mengistirahatkan diri. Di saat-saat sedih seperti ini ia berharap ada yang menghiburnya. Namun, sekali lagi ia berusaha menghilangkan harapannya itu. Tak akan ada orang yang cukup peduli dengannya.

Ia sampai di rumah Bia, sepi. Seperti tak ada orang di dalamnya. Keadaan ini sama seperti biasanya. Setidaknya tempat ini selalu ramai dan hangat saat makan malam. Ia terus berjalan menuju kamar yang selama ini ia tempati. Ia melewati ruang tamu.

"Kenapa lesu, bro?" Suara itu membuat Radev menoleh ke arah sofa. Tak biasanya ada orang di situ. Ya, mungkin hari ini berbeda. "Gak papa." Radev menjawab tanpa semangat. "Yaelah kayak anak perawan aja sih lo. Sok-sok an bilang gak papa-gak papa. Aslinya pasti ada apa-apakan. Sini duduk. Cerita gue pasti dengerin dan coba bantu." Bahasa Raditya mulai menyesuaikan Radev belakangan ini. Mungkin ini faktor ia tinggal bersama Radev dan Bia.

Radev hanya merespon dengan duduk di sofa dengan Raditya. Ia masih bungkam. Tak mau bercerita. Raditya masih menunggu Radev bicara. Sebagai perawat ia tahu betul bagaimana seorang pasien saat sedang menyembunyikan sakitnya. Jangan salah sangka! Raditya ini sebenarnya sarjana psikologi tapi memilih menjadi perawat daripada seorang psikiater. Ia perlu mengamati apakah seseorang yang datang dan dirawat di rumah sakit itu hanya sakit raganya saja atau juga sakit dalam kejiwaannya.

Ia ingin membuktikan teorinya sendiri kalau sebenarnya orang yang sakit secara fisik itu diawali dengan stres ringan yang mengubah pola hidupnya. Raditya hanya ingin membuktikan itu.

"Gue boleh panggil lo abang nggak? Gue kira perbedaan umur kita gak terlalu jauh. Mungkin hanya sekitar 5 tahunan. Iya kan?" tanya Radev datar, ia masih menatap layar tv dengan pandangan kosong. Ia tak benar-benar menikmati acara yang ditampilkan.

"Itu terserah lo saja. Dan usia gue sekarang 27 tahun. Itu lebih dari 5 tahun. Asal lo tahu aja gue ini awet muda makanya gak kelihatan kalo gue umur segitu. Hahaha..."

"Sabodo lah. Intinya lo lebih tua dari gue."

"Iya, dek iya! Hahaha aneh banget hahaha... "

"Bangke lu! Ya gak kek gitu juga kali!" Radev memukuli Raditya dengan bantal sofa. Mood nya sedang tidak bagus. Tak baik untuk mengacau macan dalam dirinya. "Aduh ... stop Dev, stop! Gue belum siap, lo asal main perang aja. Duh ... Mana sih ini bantal?" Raditya tak mau mengalah ia meraba-raba sekitarnya mencari senjata perang juga.

"Nah... Gue udah punya senjata sekarang! Lo bakal kalah, Dev! Hahahaha..." jadilah mereka perang bantal. Yang satu gembira yang satu lagi melepaskan segala kecewanya dengan itu. Lama-lama Radev juga senang. Ia terbawa suasana.

"Awas lo pasti kalah, Bang! Hahahaha..." Ruang tamu berubah menjadi medan perang bantal oleh dua cowok yang berparas bijaksana bak raja. Namun, tetap saja mereka pasti pernah kecil dan kini mereka sedang bernostalgia. Hanya tawa yang menghiasi setiap pukulan bantal yang mengenai satu sama lain. Senang rasanya saling melayangkan pukulan  ke wajah atau bagian tubuh lainnya. Rumah yang biasanya sepi berubah menjadi ramai hanya dengan adanya dua pria beda usia itu.

***
Dia kembali menginjakkan kaki setelah sekitar seminggu hilang dari rumah itu. Rumah yang penuh siksaan baginya. Entah bagaimana caranya ia terbangun di kamarnya sendiri. Dia yakin itu kamarnya sendiri.

Seingatnya tadi dia sedang di kafe sambil mengintai seseorang yang ia anggap sebagai temannya. Kenapa dia ada di sini? Dan dimana Bia? Bukankah tadi dia duduk bersama Bia saat mengintai? Dan satu lagi kenapa di sini gelap? Terlalu banyak pertanyaan dan ... serta kenapa di kepala Al. Ia masih belum mengerti.

Al rasa ada hal buruk yang terjadi dengannya atau mungkin Bia juga. Ia sadar betul ia sedang ada di kamar rumahnya. Namun, terlalu gelap di situ dan keadaannya pun terlalu sepi. Ia benci sepi dan gelap. Pada saat-saat itu ia akan sulit mengontrol dirinya sendiri. Emosinya sendiri. Sekujur tubuhnya telah bergetar ketakutan dan juga dirinya basah karena keringat.

Sementara itu, Bia sibuk mencari Al yang mendadak hilang dari kafe. Ponsel Al pun tak dapat dihubungi. Sementara hari sudah semakin sore ia harus kembali ke rumah sebelum ibunya pulang. Dengan kecewa Bia pun pulang ke rumahnya.

***
Bia sampai rumah. Saat masuk tak terlihat suatu hal yang mencurigakan terjadi. Atau mungkin ia belum tahu hal itu. Bia menuju dapur untuk mengambil minum. Ia terkejut saat mendapati dua orang pria beda usia sedang mengelap lantai di dapur dan ibunya sedang berkacak pinggang mengawasi mereka.

"Om sama Radev kenapa, Ma?" Bia menghampiri Rita dengan penuh rasa penasaran. "Ini hukuman buat mereka karena udah berantakin ruang tamu pas pelanggan mama datang." Oke, itu cukup menjelaskan kalau sebenarnya Rita sedang kesal. Yang Bia tahu mamanya juga bisa berubah menjadi sangat tegas saat ada orang yang berbuat salah. Ya, ini contohnya. Meskipun begitu Rita tetap baik karena tak langsung menendang Radev dan Raditya keluar dari rumahnya karena kesalahan mereka.

"Oh iya, kenapa kamu pulang sendiri? Mana temenmu?" Bia sebelumnya telah khawatir kalau mamanya bertanya itu. Di satu sisi ia tak ingin berbohong di sisi lain ia tak ingin ibunya khawatir pada Al. "Al udah pulang ke rumahnya kok, Ma." Bia mencoba tersenyum agar ibunya yakin. Rita hanya menganggukkan kepala. "Oke, sekarang tinggal kita berempat. Kalian berdua selesaikan lap lantainya segera dan kamu Bia cepat mandi. Dan kamu boleh turun ke ruang makan setelah maghrib." Rita mengintruksi semuanya.

"Siap kapten!" sahut mereka kompak. Bia segera ke kamarnya, dia berjalan dengan gusar di setiap langkahnya. Ia masih memikirkan keadaan Al.

Saat Bia sudah masuk ke kamarnya Rita berjongkok mendekati Radev dan Raditya.

"Hei, kalian mau bantu aku memasak? Akan ku bebaskan kalian dari hukuman ini jika kalian mau atau kalian harus keluar dari rumah ini jika menolak," bisik Rita tepat di telinga Radev dan Raditya.

"Apakah itu sebuah pilihan, Mbak? Tidak, kan? Tentu saja kami memilih membantu daripada harus keluar, iya kan, Dev?"

"Tentu saja. Aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi."

"Oke, pilihan yang bagus karena mau menurut. Sekarang salah satu dari kalian harus mengunci makar Bia dari luar. Dan satunya lagi mengambil barang dari gudang. Jadi, siapa yang mau mengunci Bia di kamar?"

"Aku aja mbak, mana kuncinya?" Raditya semangat melakukan ini. Ia ingin balas dendam juga kepada Bia karena tak mengenalinya saat pertama kali bertemu. Rita memberikan kunci kamar Bia yang sebelumnya telah ia ambil semalam. Ketahuilah bahwa Bia ini jarang mengunci kamarnya saat tidur, jadi ia tak akan sadar kalau kuncinya telah diambil.

"Radev ini kunci gudangnya, kamu perlu mengambil beberapa alat masak yang ada di sana. Ini daftar nama alat-alatnya."

"Oke, Tan."

Radev dan Raditya pergi untuk menjalankan tugasnya masing-masing. Mereka belum tahu betul apa tujuannya, yang pasti mereka tak ingin keluar dari rumah ini.

Radev ke gudang mencari barang yang diinginkan oleh Rita. Di kertas tertulis ia harus mengambil pemeras lemon dan sebuah nampan. Ia merasa tak heran ataupun penasaran kenapa alat masak itu ada di gudang. Semua itu tak penting bukan? Yang harus ia lakukan hanyalah mengambilnya dan segera keluar dari gudang.

Saat mengambil nampan ia menjatuhkan sebuah bingkai foto yang berdebu. Radev tertarik untuk mengambilnya.

Bingkai itu tampak berbeda. Itu adalah bingkai hasil buatan tangan anak kecil. Terlihat sekali dari penampakannya. Terdapat foto sepasang bocah. Radev rasa ia kenal salah satu dari bocah itu.

"Radev! Mana barangnya?!" teriakan Rita terdengar dari dapur. Radev mengurungkan niatnya untuk meneliti wajah yang ada dalam bingkai itu. Ia menyimpan bingkai itu di sakunya. Radev pikir akan menyimpan itu untuk sementara waktu.

"Iya! Radev dateng!" Radev membalas teriakan Rita dan segera kembali ke dapur.

Frobly-MoblyWhere stories live. Discover now