III | DORADO

1.7K 307 183
                                    


"Sampai kapan kamu mau diam saja?" Intonasi saya memang cukup mengintimidasi, tapi saya sama sekali tidak terlihat menakutkan.

Saya hanya duduk santai menumpu satu kaki, melipat tangan sembari memperhatikan anak itu menghabisi minuman hangatnya. Saya jelas-jelas memberi image tuan rumah yang anggun nan berhati mulia, lalu kenapa dia masih menolak tatapan saya?

"Tuan, mau tambah lagi susunya?" Mrs. Qi yang berperan menyajikan perjamuan sejak awal. Saya sih figuran doang.

Pemuda itu menggeleng masih sambil menunduk, ada sekilas senyum tipis di wajahnya barusan. Mrs. Qi menatap saya untuk meminta izin meninggalkan kami, tak lupa mematikan lampu ruangan agar introgasi bisa berlanjut.

Saya menyorot wajah lelaki itu dengan senter. "Masih gak mau jawab pertanyaan saya?"

"Ini harus ya gelap-gelapan begini??" Akhirnya dia bicara setelah 3 jam berpura-pura bisu.

"Saya tanya sekali lagi, kamu tadi nyuri apa di mini market?!"

"Saya gak nyuri kok ..."

"Berani bohong saya telepon polisi sekarang."

"Eh eh jangan plis jangan!" Lihat betapa tidak konsistennya anak ini.

"Kamu masih sekolah?"

"Iya ... kelas 12." Dia menunduk lagi, memainkan plester yang tertempel di telunjuknya.

"Ckckck, saya nangis darah sih kalo jadi orang tua kamu. Capek-capek cari uang buat biayain sekolah eh anaknya durjana." Saya meletakkan botol obat untuk bersaksi sebagai barang bukti. "Ini punya kamu, kan?"

Lihat, bola matanya nyaris meloncat keluar saking kagetnya melihat benda itu. Tapi sejurus kemudian dia berlagak bodoh lagi. "Bukan. Itu bukan punya saya."

"Okay you give me no choice." Saya sembarang melempar senter ke meja agar tangan saya leluasa mengikat rambut dan memoles lipstik rona darah.

"M-Mau ngapain??" Dia mulai panik ingin kabur, tapi pintunya terkunci dan ruang kerja saya tidak seluas itu untuk bersembunyi.

"Harusnya kamu jangan ngulur durasi kalo masih sayang nyawa. Dan asal kamu tahu, saya pernah belajar bela diri jadi gak usah macem-macem!" Saya refleks menendang dia agar kembali duduk di kursinya. Lalu dengan cepat saya kembali meraih senter dan mengunci pergerakkan wajah si pemuda yang tertumpu di dagunya.

"Tatap mata saya."

Tentu cara paling mutakhir bagi seorang eyeless untuk menyudahi permainan adalah mencari kebenaran di dalam netra lawannya. Setidaknya 5 detik, saya tidak boleh memutus kontak mata agar dapat meraup informasi dari sudut pandangnya. Jadi saya harus paksa dia menatap saya, semakin lama semakin bagus. Sebenarnya saya malas kalau berurusan dengan lawan jenis, karena biasanya di detik ke-7 mereka sudah jatuh cinta sama saya. Haduh nasib orang cantik.

Namun kali ini, untuk pertama kalinya, setelah mungkin hampir 10 detik terlewati dengan posisi wajah kami saling menantang tanpa jarak yang berartiㅡsaya tidak memperoleh apapun.

Hanya tercipta keheningan, kosong, dan suara saya menelan saliva canggung setelahnya. Pemuda itu juga sama, bahkan dia masih setia menahan napas karena saya terlampau dekat.

Beauty And The Boo [DAY6 Dowoon]Where stories live. Discover now