IV | GEMINI

1.5K 275 125
                                    


Too thoughtless, too heartless.
Humans? More like zombies.

Masih dengan seragam lengkap terbalut jaket, gadis bersurai hitam kecokelatan meraih dua kaleng soda dan sekotak susu cokelat di rak pendingin mini market. Sembari mengantre, beberapa permen karet telah diliriknya dari jauh, siap untuk diikutsertakan dalam kantong belanjanya. Mendekati meja kasir, gadis itu melepas headphone-nya dan cepat merogoh uang dari dalam ransel untuk membayar. Namun entah bagaimana, tidak ada sepeserpun nominal yang tersisa di dompetnya. Padahal antrean hanya tinggal satu lagi.

"Shit, Ersabin you idiot." Umpatan itu lolos hingga pelanggan di antrean belakangnya bisa saja mendengar. Berakhir dia mengembalikan semua calon belanjaannya ke rak secara asal, kemudian pergi dari sana.

Dalam perjalanan pulang, gadis itu membuat panggilan. "Eh tahu gak, gue ternyata gak bawa uang cash."

"Kok bisa???"

"Belum narik uang di ATM."

"Ohh yaudah."

"Gue otw pulang nih."

"Oke hati-hati yaa."

Hilda Ersabin mengakhiri telepon satu menit itu dengan senyum lebar. Fakta bahwa akan ada yang menyambutnya saat pulang nanti sangat menyenangkan, tapi mengingat dia harus menyembunyikan sosok itu dari ibu tirinya yang super strict akan menjadi perkara besar. Ayah Sabin bekerja di luar kota, sementara ibu kandungnya telah wafat setelah berjuang melawan kanker. Istri baru ayahnya tidak menyebalkan, dia hanya tipikal wanita karier yang lebih sibuk dari metropolitan. Tak heran Sabin terbiasa mandiri selama 6 tahun belakangan.

Sekitar 300 meter harus ditempuh untuk sampai ke rumah. Sabin tetap berjalan santai meskipun petugas patroli mungkin saja datang menegur, sebab siswa berseragam tidak sepatutnya berkeliaran pukul 9 malam.

Tiba-tiba langkah gadis itu tertahan total, seseorang telah menarik ranselnya. Sempat terbesit ide untuk langsung kabur jika itu sungguh petugas.

"Hei, sorry, ini punya lo kan?"

Untungnya bukan.

Sabin refleks berbalik dan melepas headphone ketika kantong plastik dengan label mini market yang didatanginya barusan disodorkan padanya.

"Bukan, Mas. Saya tadi gak belanja apa-apa kok." Berpostur tinggi dipadu sportwear dan wajah tertutup masker putih, Sabin kesulitan menebak kisaran usia sosok di depannya ini.

"Oh gitu?" Dia menggaruk tengkuknya kikuk. "Ya udah buat lo aja." Kemudian malah meletakkan kantongnya di dekat kaki Sabin dan pergi begitu saja tanpa berkenalan apalagi berpamitan.

"Eh? Ini kenapa ditinggal?? Woi, Mas!!"

Baru beberapa kerjap, sosok itu telah hilang dari pandangan. Sabin mendadak cemas saat memeriksa kantong tersebut. Ternyata isinya soda, susu cokelat, permen karet. Akurat dengan aitem yang seharusnya dia beli.

"Well this is creepy but since it's free ... makasih banyak loh, Mas." Sabin hanya akan menganggap belanjaan ini doorprize dari Yang Maha Kuasa.

Tersisa setengah jalan lagi untuk sampai, volume musik yang menyumbat telinganya diputar sampai level maksimal. Bagi gadis itu, bising dunia cukup mengambil porsi pagi hingga petang untuk dipatuhi, malam adalah waktu untuk mendengarkan diri sendiri.

Beauty And The Boo [DAY6 Dowoon]Where stories live. Discover now