IX | PHOENIX

1.2K 246 172
                                    


Ujian akhir telah usai. Rehat panjang sebelum pembagian hasil kelulusan kurang lebih tiga pekan. Cukup bagi SMA Ditroite untuk mengubur lebih dalam kasus yang tengah diinvestigasi oleh pihak berwajib secara diam-diam.

"Papa ngizinin kamu ikut jadwal sekolah formal karena dokter Chris bilang kamu sudah terlalu jenuh belajar di rumah. Tapi gak begini caranya, Hadwin."

Si pemuda memegang erat jaketnya yang baru saja diresmikan oleh tim penyelidik sebagai satu-satunya barang bukti. Situasi bertambah rumit ketika dia divonis sebagai saksi sekaligus tersangka.

"Aku beneran gak tahu apa-apa, Pa ..."

"Papa percaya sama kamu. Tapi kamu ngerti kan berapa banyak orang yang akan memanfaatkan kasus ini untuk menjatuhkan keluarga kita?"

Melihat tubuh Hadwin mulai berkeringat dan gemetar, Tuan Elvanter langsung menghentikan pembicaraan. Psikis putra semata wayangnya akan terancam lagi bila dia terus disuap trigger. Terlebih, Hadwin baru setahun ini bebas dari sesi terapi kognitif untuk mengatasi traumanya.

"Iya Dok, bagaimana hasil visumnya?" Tuan Elvanter sekilas menatap Hadwin yang masih tertunduk. "Baik, saya akan kesana sekarang."

"Papa akan berusaha sebisa mungkin untuk melindungi nama kamu. Jadi tolong, jangan bantah perintah Papa lagi." Dengan begitu beliau melangkah terburu meninggalkan kamar putranya.

Bukan hanya Hadwin yang hampir gila karena kasus ini, dua saksi lainnya pun demikian.

Flashback . . .

"Aman?"

"Aman, Bin!"

"Hush jangan teriak-teriak."

Daru memelankan suaranya. "Aman ..."

Sabin terkekeh sembari memulai aksinya memeriksa data cctv bersama sang komandanㅡHadwin. Dia memberikan informasi terkait tanggal, letak ruangan, dan segala yang dipinta oleh Hadwin demi memudahkan penelusuran.

"Lo yakin rekamannya masih ada? Bukannya data cctv otomatis akan kehapus dalam jangka waktu tertentu?"

"Gue udah nyari tahu, kapasitas hardisk cctv yang dipasang di kelas cukup buat nyimpan rekaman sampai sebulan. Chill babe, I'm a smartass."

Mereka berhasil menemukan rekaman yang bisa dijadikan bukti konkret.

"Look, ada yang masukkin map ke tas lo, Bin." Hadwin menunjuk layar yang menampilkan ruang kelas mereka.

Bola mata Sabin nyaris meloncat keluar ketika menyadari siapa sosok itu. "Joya?!"

Sabin tak menyangka kalau dia termasuk ke dalam jajaran target untuk dirisak, padahal dia tak pernah berurusan dengan siswi ular itu.

"Setidaknya kita udah nemuin faktanya sekarang. Lo bisa ngajuin protes ke sekolah dan minta pertanggung jawaban dari si joyo-joyo itu."

"No. Thats not possible."

"Whut? Why?"

"Orang tuanya donatur sekolah."

Ucapan Sabin sontak membuat si anak ketua yayasan tertawa geli. "Hilda Ersabin, lo lupa gue siapa? Don't even worry about it."

Antara lega dan resah, Sabin akhirnya nekat menanyakan hal yang selama ini membuatnya penasaran.

"Win, kenapa sih lo baik banget sama gue? It's not like I'm complaining, but just why?"

"Why?" Si pemuda kembali mengaktifkan seluruh kamera pengawas di penjuru sekolah sebelum beralih pada gadis di depannya.

"You don't know yet?" Dia melangkah mendekat sampai punggung si penanya terpojok di pintu.

Beauty And The Boo [DAY6 Dowoon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang