Tiga belas

14.3K 1.1K 21
                                    

Tiga ribu undangan resmi telah tersebar luas. Wanita itu heran, sebanyak itu orang yang akan hadir diacara pernikahannya. Seterkenal itukah keluarga Abiputra di dunia bisnis.

Anna sedang dalam perjalanan menuju kantor. Mata cokelatnya menatap nanar undangan berwana Broken White bergaya Laser Cut Rose Flower di kedua tangannya.
Dari tiga ribu undangan, Anna hanya mempunyai satu undangan untuk dikirim ke negara lain. Dia tidak memiliki banyak teman, tidak pandai bergaul dengan orang lain. Di kantornya yang dulu saja, dia hanya sekedar kenal kepada orang disekitarnya.

Taxi yang Anna tumpangi memasuki pelataran kantor, ada sedikit rasa cemas dihati. Keringat dingin mulai dia rasakan ditubuhnya. Anna memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam untuk menenangkan hati dan pikirannya sebelum memasukin lobi kantor.

Setiap ketukan langkah Anna mengundang tatapan penuh makna dari orang-orang yang berada di lobi. Sekilas Anna melihat orang lain memandang dirinya penuh cemoh, sesekali dia mendengar bisikan yang menyebut namanya. Anna berjalan sedikit lebih capat menuju toilet, dia butuh ketenangan untuk dirinya.

"Baru kerja tiga bulan saja sudah bisa mendapatkan Pak Kavin. Hebat sekali yah wanita itu."
"Tapi dia cantik sekali. Wajarlah kalau si Bos mau menikahinya."
"Gue heran sama Bos, dia orangnya dingin trus nikah sama wanita dingin juga. Gimana nasib anaknya yah?".

Anna terdiam mendengar omongan semua itu, dia hanya bisa terduduk diatas closet.

"Kalian pagi-pagi sudah bergosip ria. Yang mau menikah itu si Bos bukan kalian. Kenapa kalian yang heboh." Gadis itu geram mendengar tiga wanita sedang menilai buruk orang lain.
"Jika kalian ingin mendapatkan suami yang ganteng, yang kaya seperti si Bos, lebih baik perbaiki dulu diri kalian." Ujar gadis itu dengan pandangan mendelik.

Ketiga wanita itu merasa tersinggung dengan ucapan gadis yang berpenampilan biasa saja.
"Lo siapa? Baru jadi sales ajah belagu." Ucap salah satu dari mereka.

Dibalik bilik toilet Anna menyadari ketiga wanita itu telah pergi. Tetapi, dia masih mendengar suara gadis yang baru saja membelanya. Anna bisa sedikit bernapas lega masih ada seseorang yang tidak menilainya rendah.

Anna keluar dari toilet, melangkah menuju wastafel kosong disamping gadis yang terus saja mengoceh.
"Walaupun aku hanya menjadi sales di kantor ini, setidaknya diri aku masih lebih baik dari pada kalian." Gadis itu terus saja menggerutu sendiri, dia tidak terima dirinya dibilang belagu. "Iyah ngga, Mbak?" Gadis itu sekilas menengok ke arah Anna, lalu melanjutkan lagi kegiatan mencuci tangan.

"Iyah." Anna bingung harus menjawab apa. Karena gadis itu terus saja mengoceh sendiri.

Tiba-tiba suara gadis itu terhenti, dia mengarahkan pandang lagi ke samping.
"Oh, Mbak lipstick." gadis itu sedikit terkejut. Dia baru menyadari wanita yang berada disamping, adalah Mbak yang dulu meminjamkan lisptick kepadanya.

"Hai." Sapa Anna kepada gadis itu. "Jangan panggil saya Mbak Lipstick."

"Maaf, Mbak. Akukan tidak tau siapa nama, Mbak. Kenalkan aku Fany." Ujarnya dengan cengiran.

"Saya, Anna." Balasnya dengan tatapan tidak bisa di artikan.

*****

Cincin kawin merupakan elemen yang sangat penting dalam sebuah pernikahan. Selain simbol cinta, cincin kawin juga menjadi pengikat antar suami dan istri.

Mata hitam tajam milik Kavin terus menulusuri setiap barisan cincin yang tertata rapih di atas box display etalase. Dia bingung cincin seperti apa yang cocok untuk Anna. Kalau bukan saja tadi Bella menghubungi dirinya, menanyakan soal cincin, mungkin Kavin akan menikah tanpa cincin kawin. Walaupun pernikahan ini bukan keinginannya, tetapi cincin dalam pernikahan itu sangat penting.
"Bodoh" akunya pada diri sendiri.

Pure LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang