Dua Puluh Enam

16.9K 992 24
                                    

Cause I wished you the best of.
All this world could give.
And I told you when you left me.
There's nothing to forgive.
But I always thought you'd come back, tell me all you found was.
Heartbreak and misery.
It's hard for me to say, I'm jealous of the way.
You're happy without me.

🍃🍃🍃

Ini sudah hari keempat keberadaan Anna di panti tanpa Kavin di sisinya. Anna merasa ada yang hilang dan ada kerinduan yang terpendam yang berusaha sekuat tenaga ditahan olehnya. Pikirannya berkecamuk membuat dirinya tidak tenang, sehingga kondisi kesehatan Anna semakin menurun. Selera makannya menghilang, setiap harinya hanya bisa memakan buah itupun harus dipaksa. Jika melihat nasi rasanya seperti melihat musuh, sehingga tidak ada sedikit pun makanan yang masuk ke lambungnya membuat kondisi Anna melemah. Untuk saat ini yang Anna bisa lakukan terbaring tak berdaya di atas tempat tidur.

Ingin rasanya Anna menghubungi Kavin, meminta suaminya datang ke panti untuk mengunjunginya. Anna sangat ingin melihat Kavin, jika boleh dia ingin memeluknya menumpahkan segala rasa yang dimilikinya saat ini. Tapi semua itu tidak bisa dilakukan olehnya. Mungkin Kavin tidak ingin bertemu atau melihatnya lagi, dari dulu memang Kavin tidak pernah menginginkannya. Selama ini memang hanya dirinya yang mengharapan semua itu, dan sekarang dia sendirian terpuruk dalam luka yang dibuatnya.

Tangan kecil Anna terus bergerak bermain di atas layar ponsel miliknya, seperti inilah cara mengobati rasa rindu untuk suaminya dengan memandangi wajah Kavin dari layar kaca kecil. Anna baru sadar ternyata galeri ponselnya penuh dengan foto Kavin.

"Apa yang harus aku lakukan?" Retinanya terus fokus pada gambar di ponsel yang menyala. "Jika kamu tahu kabar ini, apa kamu tetap akan menceraikan aku?"

Satu tetes cairan bening itu lolos dari sudut mata indahnya. "Aku takut,Vin. Aku takut jika nasib anak ini seperti aku." Anna menangis tergugu sendiri. Di lubuk hati paling dalam untuk saat ini dia sangat membutuhkan sosok suaminya agar bisa menenangkan dirinya yang belakangan ini sangat sensitif.

Terdengar ketukan pintu dari luar kamar, Anna segera menghapus jejak cairan di kedua pipi tirusnya. Dia sangat tidak suka membuat orang lain cemas kepadanya.

"Masih terasa mual, Ann?" Bunda Yanti berjalan ke sisi ranjang yang di isi oleh Anna, dengan membawa satu nampan berisi satu gelas susu hamil dan satu piring buah apel dan melon yang sudah diiris kecil-kecil.

Anna menggeleng lemah, membetulkan posisi tubuhnya dengan nyaman. "Sudah tidak terlalu, Bun."

"Kamu ingin keluar mencari udara segar?" Bunda Yanti menatap Anna lekat-lekat, wanita tua itu menyadari raut wajah anaknya memerah seperti habis menangis. "Ingin cerita dengan Bunda?"

Sekali lagi Anna menggeleng, pandangannya terlihat kosong. "Aku tidak tahu, Bun." Jawabnya dengan senyuman memaksakan.

"Apa kamu tidak ingin kembali ke rumah? Kamu tidak merindukan suamimu yang ganteng itu?" Canda Bunda Yanti, dia mencoba mencairkan suasana hati putrinya. "Bunda yakin, suamimu itu pasti sangat merindukanmu."

Anna mencoba tersenyum, tapi tetap dia tidak bisa membohongi perasaannya saat ini. "Sepertinya tidak, Bun." Suara Anna bergetar menahan tangis, sekuat apapun dia mencoba menahannya tetap air mata itu keluar dengan deras. Dia sangat benci menjadi seperti sekarang ini.

Bunda Yanti tersenyum hangat, tangan keriputnya mengelus surai lembut Anna. "Bolehkah Bunda bertanya sesuatu kepadamu?"

Anna mengangguk ragu.

Pure LoveWhere stories live. Discover now