Dua Puluh Tujuh

17.3K 994 22
                                    

Matahari telah meninggi, menumpahkan sinar cahaya panasnya pada belahan bumi. Sinar itu menerobos pada celah dedaunan. Anna kembali duduk termenung sendiri di bawah pohon mangga tempat favoritnya menyendiri. Mata cokelatnya terus terpaku pada ponsel dalam genggamannya. Anna tidak tahu, berapa banyak waktu berlalu usai Kavin tak lagi menjawab panggilannya.

Seharusnya tiga jam yang lalu Kavin sudah sampai Jakarta, hanya saja suaminya itu tidak lagi memberi kabar dan ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Anna terus menggerutu dirinya, dia sangat menyesal tidak menuruti permintaan Kavin untuk kembali kerumahnya. Andai saja dia mengiyakan semua permintaan Kavin dan ikut pergi ke Bali menemani suaminya mungkin kekhawatiran ini tidak akan terjadi.

Selama tiga hari kepergian Kavin ke Bali, suaminya itu tidak pernah telat memberi kabar kepadanya. Setiap satu jam sekali Kavin selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Anna, jika dia sangat sibuk Kavin hanya akan mengirimkan pesan memberi tahu bahwa dirinya sedang sibuk. Tapi untuk sekarang hampir lima jam Anna menunggu kabar itu. Anna sangat benci dengan situasi seperti ini. Hati dan pikirannya berkecamuk, dia sangat merindukan Kavin dan pula sangat mengkhawatirkan keadaannya.

Untuk kesekian kalinya Anna mencoba menghubungi Kavin, tetap ponsel itu tidak aktif. Bahkan telpon rumah pun tidak ada yang mengangkat. Anna mencoba kembali menghubungi ponsel Bi Murni, sama halnya sambungan itu tidak ada jawaban. Anna mendesah pasrah, kepalanya sedikit pusing.

Baru saja Anna akan bangkit dari kursi besi tua itu, Anna merasakan ponsel dalam genggamannya berdering. Tidak perlu tau siapa yang menggubunginya, dengan cepat ibu jari Anna menggeser layar untuk mengangkat sambungan telpon itu.

"Hallo...." Sapa Anna pelan.

"Mbak Anna..." suara di ujung telpon itu terdengar sedikit panik.

"Iyah ini aku," Anna mengenali suara wanita tua yang tengah menghubunginya.
"Bi Murni, apa Kavin sudah tiba di rumah?"

"Anu Mbak, aduh saya harus gimana ini." 

"Apa terjadi sesuatu, Bi?" Tanya Anna gelisah.

Beberapa detik Anna tidak dapat mendengar suara dari sambungan telpon "Hallo, Bi Murni? Tolong katakan sesesuatu!" Desaknya, Anna merasa was-was.

"Aduh Mbak Anna, maafkan saya. Ini toh Den Kavin badannya panas sekali suhunya ndak turun-turun, Bibi bingung ndak mau di bawa ke rumah sakit. Makan pun ndak mau, sudah Bibi buatkan bubur tapi ndak dimakan. Mbak Anna pulang yah, Bibi bingung ndak tega kalau liat Den Kavin sakit."

Mendengar rentetan penjelasan Bi Murni membuat tubuh Anna membeku, sungguh dia sangat khawatir dengan keadaan suaminya disana.

"Hallo Mbak Anna, masih bisa dengar suara Bibi?"

"Bi, tolong panggilkan dokter keluarga, dan sebentar lagi aku akan pulang." Ucap Anna gemetar.

Tidak perlu pikir panjang lagi, Anna segera meninggalkan halaman belakang dan mencari keberadaan Bunda Yanti. Sebelum Anna pergi, dia harus meminta izin terlebih dulu kepada wanita tua yang sudah merawatnya sejak kecil.

"Bunda..." panggil Anna sedikit lebih keras, langkah kakinya membawa dia ke dalam dapur.

"Ada apa, Nak?" Tanya Bunda Yanti panik, meninggalkan kegiatan masaknya untuk menghampiri Anna.

"Bunda, aku harus kembali kerumah. Kavin sakit, aku takut terjadi sesuatu dengannya." Jelas Anna dengan suara parau.

"Tenang, Ann." Tangan tua itu mengelus lembut lengan Anna, mencoba menenangkan karena terlihat sangat jelas raut wajah Anna bahwa dia sangat cemas.

Pure LoveWhere stories live. Discover now