21. Payung

819 99 8
                                    

Gluduk! Gluduk!

Suara gemuruh memenuhi telingaku. Awan diatasku menggelap. Sepertinya, sebentar lagi akan hujan.

Tapi, aku tak niat beranjak dari tempatku. Aku hanya berjongkok dan menelungkupkan kepalaku diantara kakiku.

Biarlah hujan, malah bagus, menyamarkan air mata.

Perlahan, aku merasakan rintik-rintik air mengenai kulitku.

Tangisanku semakin menjadi. Kali ini bukan hanya karena sakit hati, tapi, karena aku mulai merasa kedinginan. Hape tak bawa, uang tak punya.

Fix, aku jadi anak hilang yang tersesat karena sakit hati.

Untungnya, hujan tidak turun deras, hanya gerimis. Seolah turut kasihan dengan keadaanku saat ini.

"Jerome jahat!"

Tiba-tiba, aku merasa air hujan tidak lagi mengenai kulitku. "Siapa yang jahat?"

Aku mendongkak. Orang yang membuatku sakit hati berdiri di depanku sekarang, memayungi diriku. Melihatnya sekarang membuat perasaanku campur aduk.

Aku senang karena Jerome menemukanku, tapi bayangan mengenai Jerome yang berpelukan dengan Erika kembali membuat hatiku seperti ditusuk beribu jarum.

Setelah menghela napas, aku berkata pelan, "Koko."

Ia ikut berjongkok di depanku, sambil tetap memayungiku. "Kenapa?"

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, "Karena koko pelukan sama cewek lain."

Jerome tampak berpikir, lalu tersenyum lembut menatapku. Ia berdiri, lalu mengulurkan tangannya padaku. "Sini, berdiri."

Aku menatapnya bingung. Kenapa dia bertindak seolah tidak ada apa-apa? Tapi, aku tetap menyambut uluran tangannya dan berdiri.

Saat ini, perasaanku memang sakit, tapi aku takkan membiarkan logika ku mati. Kalau tidak ada Jerome, mungkin saja aku sudah jadi gelandangan malam ini.

"Pegang," perintahnya sambil menyerahkan payung ke tanganku. Aku menurut.

Ia melepas jaket yang dipakainya, lalu menyampirkannya di bahuku. Setelah itu, ia memegang tanganku dan menariknya. "Kemana?"

"Pulang," jawab Jerome tanpa melihat ke arahku.

Aku menatap punggungnya yang ada di depanku. Tubuhnya sudah basah dengan air hujan sekarang. "Koko gak pake payungnya?"

"Gak muat, kalau dipake bareng entar kita jadi deketan, kamu lagi gak mau deket-deket sama aku kan?"

Aku sedikit kaget dengan pertanyaan Jerome. Peka sekali. Tapi, aku menghentikan langkahku dan menarik tangannya agar ia ikut berhenti.

Kini, ia menatapku heran. "Kenapa?"

"Sini," ujarku sambil menariknya kesebelahku. "Pake payungnya bareng."

Jerome tersenyum. Ia mengambil alih payungku, lalu merangkulku mendekat. "Gini, biar kamu gak basah kena hujan."

Sekarang aku benar-benar sangat dekat dengan Jerome. Hatiku mau melompat keluar rasanya.

Hangat.

Kami kembali berjalan dalam diam, sampai Jerome berkata, "Kamu salah paham."

"Soal apa?"

"Erika, kamu liat aku pelukan sama Erika kan?"

"Hm."

"Papanya meninggal."

Aku terdiam. Ternyata begitu. Aku yakin pasti Erika sangat butuh support dari orang terdekat.

"Aku tau, aku salah. Dengan alasan apapun, aku gak boleh peluk cewek lain. Kamu pasti cemburu," jelas Jerome.

"Gapapa, aku ngerti kok," balasku.

Jerome berhenti, menatapku, lalu tersenyum. "Aku tau kamu bakalan bilang kayak gitu."

"Terus sekarang dia dimana?" tanyaku.

"Lagi di rumah, ditemenin Mama sama Papa," ujar Jerome.

"Kok koko tinggalin dia?"

"Iya, tadi Erika nampak kamu. Dia suruh aku ngejar kamu, takut kamu salah paham katanya."

"Ohh...," ujarku. "Nanti kita mampir beli makanan dulu ya untuk Erika, dia pasti belum makan karena syok, terus ntar kita temenin dia," pintaku.

Jerome kini memandangku lekat. Tatapan kagum sangat jelas terpatri di wajahnya. "Cantik."

"Apa?" tanyaku.

"Hatimu, hatimu cantik," ujar Jerome. Ia menatap tepat ke mataku, dalam. "Aku jadi jatuh hati berkali-kali, ke kamu."

Aku membalas tatapannya. "Sama."

"Yang ini, yang ini, terus yang ini," rapalku sambil mengambil beberapa makanan, lalu memasukkannya ke keranjang.

Jerome berpisah denganku begitu kami sampai ke minimarket. Katanya mau beli minum sebentar.

Karena Jerome belum kembali, aku berjalan ke kasir, berniat untuk membayar.

"867 Yen," ujar penjaga kasir.

Aku merogoh kantongku, lalu berhenti sejenak.

Aku kan gak bawa dompet! seruku dalam hati.

Duh, gimana nih! Aku mulai panik.

"Koko ni ( here )."

Aku bernapas lega ketika Jerome muncul disebelahku, lalu membayar belanjaanku. Ia pun mengambil kantong plastik berisi belanjaan tersebut.

"Thanks ko, aku-"

"Lupa bawa dompet kan?" potong Jerome.

"Hehe, iya." Aku nyegir seakan tak berdosa.

"Nih." Jerome memberiku satu cup berisi minuman panas.

"Kopi?" tanyaku.

"Aku gak suka kopi," lanjutku.

Jerome terkekeh. "Aku tau," ujarnya sambil memindahkan cup itu ke tanganku.

"Ini Hot Matcha Latte, khusus untuk pacarku, kamu suka matcha kan?"

Aku mengerjap kagum. Jerome ingat detail kecil tentangku ternyata. "Iya."

"Erika," panggilku begitu masuk ke rumah.

Erika langsung berhambur ke pelukanku. Aku membalas pelukannya, lalu menepuk-nepuk punggungnya.

Ia menangis lama di pelukanku. Aku memang sudah mengenal Erika dan sering berinteraksi dengannya di dunia maya, tapi, ini kali pertama kami bertemu.

"Yuk, makan dulu ya, aku udah beliin kamu makanan," pintaku sambil menuntunnya ke meja makan.

Ia pun makan dalam diam. Aku dan Jerome mengajaknya mengobrol sambil menghiburnya.

"Kamu udah beli tiket pesawat?" tanya Jerome.

"Udah," ujar Erika, lalu ia bangkit berdiri. "Makasih ya, kalian, aku mau pulang dulu sekalian packing."

Kami sama-sama bangkit berdiri. "Mau diantarin?"

Erika menggeleng. "Gak usah, aku dijemput teman kok."

Tak lama setelah itu, bunyi mesin mobil terdengar. "Tuh, kayaknya udah sampe."

Kami mengantarnya sampai ke depan pintu rumah.

"Jerome," panggilnya.

"Ya?"

"Langgeng sama Nyanya ya, dia wanita yang sangat baik dan tulus. Sebagai sesama wanita, aku bisa merasakannya," pesannya.

Pandangannya beralih padaku. Ia tersenyum, lalu berlalu pergi.

Hmmm, jadi pengen dipayungin Jerome juga, HAHAHA

Polin in LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora