〖14〗 hєαrtвrєαk

1.1K 156 137
                                    

🌸

Keheningan malam yang terasa mencekam, membawa perasaannya makin terlarut akan keperihan. Rasa itu kian meluap, namun lagi-lagi jarak dan waktu membatasinya. Untuk kesekian kalinya ia terkungkung, menahannya seorang diri tanpa bisa mengutarakannya dengan benar.

"Aku terlambat." Suara paraunya menyatu dalam hembusan angin yang dingin. Di penghujung musim gugur, musim dingin akan datang dan membekukan hatinya, untuk pertama kalinya.

Ketika rembulan dan bintang menjadi satu-satunya yang ia punya di sini. Di taman kota yang sepi, sesekali suara klakson terdengar, namun tak berarti apa-apa.

Tubuhnya menggigil. Dingin. Amat dingin. Namun rasa sesak dalam dadaanya jauh melebihi segala sakit yang ia rasakan. Satu kalimat. Itu hanya satu kalimat pengiring sebuah gambar. Itu hanya satu kalimat. Satu gambar. Dan berjuta rasa sakit yang menyertainya.

"Terlambat..."

Sebuah tangan meraih jemarinya, meluluhkannya dengan kehangatan sebuah genggaman. Jemarinya yang kaku kembali menghangat, membuatnya kembali merasakan suhu yang begitu kontras dengan tubuhnya.

Kepalanya mendongak, menangkap siluet seorang gadis. Gadis yang amat ia cintai. Gadis yang bahkan hanya muncul dalam angannya. Gadis yang membawa berbagai penyesalan merasuk ke hatinya.

"Kageyama-san..." Suara selembut sutra kembali menjamah pendengarannya. Jemari lentiknya menyentuh perlahan pipinya, menuntunnya tuk bertemu pandang. "Ini sudah malam. Ayo pulang. Ini penghujung musim gugur, dingin bukan?"

Sebelah tangannya terangkat, membalut lembut tangan yang memangku sebelah wajahnya. Air matanya berkumpul, beriak menggetarkan hati terdalam seorang Kageyama Tobio.

"Hayakawa-san..." Berat, sesak, sakit, semua bercampur tanpa mampu ia kendalikan. "Tsukiatte, kudasai..."

Sebuah tempat. Ia butuh satu tempat. Tempat di mana ia bisa kembali kapan saja dan seseorang menunggunya dengan senyum. Sungguh tidak bisa. Ia tak bisa menahannya, menjadikannya lelaki brengsek yang hanya memikirkan perasaannya.

Pagutan itu terjalin, membalut lembut dengan rasa sesak yang kian meruah. 'Aku tak tahu, sesal akan menghantuiku atau tidak... aku tidak tahu...'

🏐

"Itu curang, Miya-san! Aku cuma kalah makan dua onigiri, dan kau malah memposting sesuatu yang akan membuat orang-orang salah paham!" protesnya tersuarakan dengan lucu, meskipun gadis itu merasakan kekesalan yang tak terbendung.

Surai kelabu yang perlahan menghitam seluruhnya tersibak angin musim gugur. Suaranya yang tenang menghanyutkan siapa pun untuk kembali menyelami siapa jati diri lelaki ini sebenarnya. Mahasiswa tingkat dua jurusan kuliner, atau pangeran berkuda putih yang tengah menyamar.

"Itu sudah lewat sebulan, kan? Tepat saat kau menolakku. Dan kau baru protes sekarang?" Lirikan sinisnya menelanjangi [Name] dalam keramaian.

Pipinya menghangat ketika memori sebulan lepas kembali terngiang dalam pikirannya. Saat Miya Osamu menyatakan perasaan dengan begitu tenang, dengan gurat kecewa dalam pandangnya.

"Itu karena aku baru tahu kau memposting hal bodoh itu di media sosialmu. Lagian kau juga gak pernah kasih tau media sosialmu padaku! Itu curang!" Satu tamparan keras [Name] berikan pada lengan kekar sang lelaki, walau pada akhirnya tangannya sendiri yang merasa sakit.

Osamu terkekeh kecil, hanya sebentar sebelum ekspresi wajahnya kembali datar dan menatap tak peduli pada gadis yang tengah berjalan bersamanya. "Kau gak pernah tanya juga, aku gak salah, kan?"

rєcσnvєníng | kαgєчαmα tσвíσWhere stories live. Discover now