Bagian Tiga Dua | Ibarat Kue Pahit

21.2K 1.9K 156
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.

Updated on : Ahad, 27 September 2020
Republish: Kamis, 26 Mei 2022

***

Selamat membaca cerita Keisya dan Zaid.

Vote sebelum membaca dan tinggalkan komentar.

Follow Ig aku ayusumbari

Bagian 32 | Ibarat Kue Pahit

()()()

"Abi, ayo berangkat!"

Laki-laki yang dipanggil Abi menoleh, menatap putrinya yang kini sudah memakai rok kotak-kotak dan berseragam putih, lengkap dengan hijab sedada yang tidak pernah dilepasnya. Sudah satu tahun sang putri masuk TK, senyuman di wajah sang putri tidak lagi bisa dia lihat secerah dulu. Sudah dua tahun berlalu, tapi yang ditunggu untuk kembali masih belum datang. Waktu tetap berputar tanpa mau menunggu jika ada hati yang masih tertinggal di ruang kenangan. Tahun sudah berganti, tapi cinta di hatinya masih belum berhenti. Harapan tumbuh semakin tinggi, doa juga semakin sering terucap di bibirnya untuk meminta kepada ilahi agar mengembalikan sang istri.

Zaid menggendong Berlian, lalu mendudukkan putrinya di bangku samping kemudi. Zaid sudah melewati masa sulit ini sendirian, menghibur Berlian dengan kata-kata menenangkan padahal hatinya gelisah dan resah. Namun, apa yang bisa Zaid lakukan selain menunggu? Dia tetap setia berharap pada satu kalimat yang pernah diucapkan oleh sang istri sebelum kepergiannya.

"A-aku akan kembali."

Itu ucapan Keisya ketika Zaid merasa berat melepas, namun dia akhirnya ikhlas. Hanya tiga kalimat tergagap yang Keisya ucapkan waktu itu menjadi pegangan dan tempat menaruh harapan jika Keisya akan membuktikan janjinya.

Zaid juga sudah dua tahun terakhir tidak mendapatkan kabar dari Axero. Keduanya sama-sama menghilang bak tidak pernah hadir di kehidupannya. Namun, cinta yang Zaid punya mampu membuatnya bertahan hingga dua tahun lamanya. Ada banyak duka yang sudah dilewati, ada banyak rindu yang masih belum terobati.

"Abi ... Lian nggak mau sekolah lagi besok." Sang putri berucap lirih.

Zaid menoleh, menatap wajah murung itu sendu. Semenjak kepergian Keisya, bukan hanya dia yang merasa hampa, tapi Berlian lah yang jauh lebih terluka. Ditinggalkan begitu saja tanpa salam perpisahan, menunggu tanpa kepastian, dan memupuk harapan yang bisa saja berakhir dengan kekecewaan. Berlian tumbuh menjadi anak yang sangat menggemaskan, namun tingkahnya tidak ceria. Mata beningnya redup tanpa cahaya, bibirnya terkatup enggan bersuara.

"Kenapa Lian nggak mau sekolah? Kan, Lian mau pinter." Zaid membalas dengan lembut, sesekali dia melirik sang putri.

"Lian sedih. Temen-temen Lian sering cerita tentang ibu mereka, Lian nggak bisa. Lian nggak mau dengar cerita mereka lagi. Lian benci."

"Lian ...."

"Lian benci ibu! Katanya ibu mereka sayang sama mereka, tapi Lian nggak ada. Umi ninggalin Lian padahal Lian selalu doain Umi, tapi Umi pergi ninggalin Lian."

Anak itu mulai menangis. Zaid memberhentikan mobilnya sejenak agar bisa menenangkan Berlian. Dia membawa sang putri ke dalam pelukannya, tubuh Berlian bergetar hebat. Zaid tahu jika Berlian tidak sekuat Keisya. Jika Keisya selalu tahan dengan setiap luka, maka Berlian tidak. Keisya selalu banyak memberinya cinta, memanjakan, dan membahagiakannya, karena itu ketika diberi luka Berlian tak mampu bertahan lama. Berlian tidak bisa berdiri dengan kakinya sendiri, Berlian tidak bisa berpegang pada sebuah harapan semu yang dia ciptakan sendiri sebagai imajinasi.

KEISYA (Tolong, Cintai Aku Juga) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang