Chapter 34

1.2K 272 53
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


**

Dalam hidupnya, Taehyung tidak pernah ingin menjadi seseorang yang tak mengakui kesalahan. Bahkan kendati itu hanya sebuah kesalahan kecil sekalipun. Dia tidak ingin hidup menjadi seorang pengecut.

Tetapi semenjak kedua kakaknya bermasalah hingga sampai mengorbankan sebuah hubungan persaudaraan, Taehyung tahu, bahwa menjadi pengecut—sesekali dalam hidup itu tidak terlalu buruk.

Dia ingin menjadi seorang pengecut yang tak perlu memikirkan apa-apa selain bersembunyi di balik rasa takut. Tak perlu merasakan apa-apa. Bersikap acuh.

“Tuan muda, pagi ini saya di beri kabar oleh pihak bandara Incheon bahwa seseorang bernama Song Jean baru saja mendarat di sana.”

Taehyung pikir dia hanya sedang mendapat sebuah informasi salah beberapa jam yang lalu. Tetapi kalimat selanjutnya dari orang suruhannya membuat napas Taehyung tersendat, “saya sudah memastikan langsung ke bandara dan melihat rekaman CCTV. Itu jelas menunjukkan wanita bernama Song Jean yang selama ini Tuan muda cari.”

Taehyung tentu bisa melakukan apa pun, termasuk mengerahkan seluruh bawahannya—atas nama Ayah, tentu saja, untuk mencari tahu keberadaan Jean. Menggunakan beberapa orang—yang dulu pernah bekerja dengannya ketika ia masih menjadi sosok tak terkalahkan, Cupcake—menyebar mereka ke seluruh penjuru Korea Selatan. Mengirim ribuan foto Jean ke berbagai tempat dengan bayaran setimpal. Dengar, ini tidak berlebihan sama sekali, setidaknya begitu yang Taehyung pikirkan. Dia hanya mencoba melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Tidak lebih.

Perubahan ekspresi Taehyung terlihat kentara sekali. Di satu sisi besar, dia jelas merasa senang, bahagia, luar biasa terkejut pula. Akhirnya hari ini datang, setelah hampir 3 tahun gadis itu menghilang tanpa jejak. Tetapi di satu sisi lain, sisi terkecil hatinya, Taehyung takut. Kira-kira kalimat seperti apa yang paling pantas untuk ia ucapkan pertama kali ketika mereka bertemu nanti. Apa dia masih marah sampai sekarang? Apa dia melupakan Taehyung? Atau justru merindukan pertemanan mereka?

Pemuda itu menggeleng. Dia berusaha mengenyahkan pikiran buruk dan memilih fokus terhadap rencananya. Taehyung menghela napas berat. Melirik satu nama seseorang sebelum mencoba menghubunginya.

Hyung, aku ingin bertemu. Ini penting."





✴✴✴






Song Jean melenguh menahan pening beberapa jam lalu ketika ia terbangun dari tidur karena mimpi aneh. Sekarang pukul setengah tiga pagi. Gadis itu tidak bisa tidur lagi. Jadi, setelah menyeduh segelas kopi latte tanpa gula, seperti biasa, ia memilih mendaratkan diri di kursi balkon kamarnya.

Seoul musim dingin yang selalu membuat rindu kini berada di depan mata. Jean tidak ingat kapan terakhir kali dirinya membeo, menatap tumpukan es, merokok dengan secangkir kopi di waktu menjelang pagi begini. Selama di luar kemarin, dia hanya melakukan sesuatu yang memang belum pernah ia kerjakan, mencari pengalaman baru dan bertemu orang-orang baru pula.

Tapi menginjakkan diri di Seoul lagi rasanya jelas berbeda.

Ibu dan Ayah juga membiarkannya beristirahat dan memutuskan untuk kembali ke Mokpo beberapa jam lalu, dengan syarat, Jean harus memberitahukan apa pun, tentang kegiatannya selama beberapa hari ke depan. Tapi jelas, Jean bahkan tak berniat pergi kemana pun, karena ia sedang mendapat jatah libur dan rasanya cukup malas untuk keluar rumah di cuaca ekstrim begini.

Song Jean meletakkan kembali cangkir kopinya saat mendengar ponselnya di atas kasur berdering.

Gadis tersebut mengerjap saat melihat nama seseorang yang tertera disana. Ya ampun tengah malam begini, apa dia gila?!

[Dimana kau?]

Gadis itu mengerang tak percaya. “Di rumah, tentu saja. Pikirmu di jam segini aku harusnya berada dimana?”

Kim Seokjin berdeham, menuangkan alkohol ke dalam gelas sebelum berucap, [pekerjaan baru. Komisinya lebih besar dari yang kau dapatkan terakhir kali]

Gadis itu menganga tak paham. Membuang puntung rokok yang mulai mengecil kemudian mengambil sebatang rokok lagi. “Jangan berlagak bodoh atau mendadak amnesia konyol, sir. Kau tahu aku sedang diliburkan.”

Ah, jelas saja. Seokjin tahu jawaban seperti ini akan dilontarkan oleh sang lawan bicara. Tapi pria ini jelas tidak berniat menyerah, membujuk. [Gajinya di bayar di muka]

Jean menjauhkan ponselnya, mengernyit, memandang layar benda elektronik tersebut sebelum memindahkan ke telinga kirinya, “Well, kau lupa? Aku sudah cukup kaya, men.” Kalau sebelumnya ia bisa membangun 2 restoran sekaligus dalam satu waktu, sekarang barangkali dirinya sudah mampu membeli setengah saham perusahan-perusahaan di Seoul. Eh, tidak. Semua bangunan besar di Korea bisa dia beli, kalau mau.

[Kasino Jungle, Busan. Lantai 12, kamar nomor 1310, Park Jimin. Sasaran tepat kepala, tanpa jejak. 200 juta won]

Uwah. Bibir gadis tersebut bergerak tanpa suara. Demi dewa-dewi di atas langit, itu jelas bukan nominal yang sedikit. Jelas saja. Kendati merasa dirinya sudah cukup kaya, di tambah kedua orang tua yang bermandikan harta, mendapat uang tunai sebesar itu hanya dengan sebuah misi yang, well, itu mudah, tetapi tidak semudah ketika mendengar nama seseorang yang tercetus di dalamnya. Perutnya mendadak melilit, mual. Seperti perasaan ngeri.

Jadi dia ragu-ragu memutuskan.

“Kapan?”

Si gadis mendengar suara di sebrang terdengar senang luar biasa. Seperti baru saja memenangkan undian lotere di sebuah pusat perbelanjaan dengan hadiah satu buah mobil sedan keluaran terbaru.

[Aku tahu, kau tidak mungkin menolak] Jin terkekeh, [seminggu lagi, tanggal 27, sabtu malam. Aku akan mengirimkan revolver baru]

Jean menolak diberikan senjata baru karena selama misi kemarin, dia sudah cukup mendapat banyak tekanan karena berganti-ganti senjata. Rasanya tidak nyaman. Paling tidak gadis itu harus membaur dengan setiap senapan yang berada di kedua tangannya. Tetapi pria itu tetap bersikukuh. Memaksa mengirimkan senjata baru. Daripada menelan lebih banyak perdebatan di sepertiga malam begini, Jean mengalah, mengiyakan.

Tetapi kalimat selanjutnya yang terlontar justru membuat Jean putus asa setengah mati. [Karena kita berada di Korea, sudah pasti dalam misi ini, kita membutuhkan seorang PSK, benar? Aku minta… aku minta kau tidak perlu menggunakan gadis bar untuk berhubungan seks dengannya. Aku mau kau sendiri yang turun tangan, sebelum melesatkan peluru]

Jean ingin sekali melihat wajah pria disana yang berbicara santai selayak ini terdengar mudah baginya. Kemudian melayangkan satu sampai dua pukulan keras. Persetan. “Kau tahu, Jin. Perjanjianku di setiap misi hanya menembak, bukannya berhubungan seks. Itu di luar kontrak.”

[Hanya berhubungan seks, melesatkan peluru, sisanya aku yang turun tangan]

“Kau serius mau ikut andil dalam misi ini? Sebenarnya siapa pria ini dan siapa yang memberikan misi? Kau tahu, ini terdengar mudah tapi kalau di pikirkan lagi, ini lebih sulit dari sekedar membunuh mafia.”

[Itu tidak penting. Aku akan memberikanmu libur satu bulan penuh]

“Kau gila!”

[Baiklah, tiga bulan? Empat atau lima bulan? Aku akan memberikanmu libur panjang sebanyak yang kau butuhkan!]

Jean melipat kaki kanan di atas kaki kirinya, membuang rokok di selipan bibir, isi kepalanya berputar. Mendesah lambat sebelum meyakinkan diri bahwa, misi adalah misi. Tidak lebih.





Jadi sekali anggukan—meski tahu Seokjin tidak bisa melihat, gadis itu menyahut luwes, “Akan kupikirkan dulu. Kukabari lagi nanti malam.” []

Play Then KillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang