Pergi

95 30 6
                                    

Aku tercenung beberapa saat setelah mendengar pengakuan yang keluar dari mulut Juan.

Gak habis pikir dengan kelakuannya yang menurutku berlebihan. Oh tidak, sangat berlebihan. Sampai-sampai mengorbankan perasaanku untuk dijadikan ajang balas dendamnya. Segitu tak berharganya kah perasaanku? dibandingkan dengan perasaan Raras yang baru ia kenal semenjak kuliah? Stupid. Kurasa otaknya konslet, kelamaan menghirup NaCl di lab.

"Pergi..." Kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku.

Perasaan kesal, marah, kecewa, menjadi satu setelah mendengar pengakuannya langsung. Pertemananku dengannya yang sangat lama itu sepertinya tidak ada artinya.

"Ki..maafin gue. Gue gak maksud nyakitin lo..."

"Pergi!" Ulangku sambil berteriak.

Aku mendengar Juan menghela napasnya. Setelah itu, ia berjalan kearah pintu dan keluar dari kamar. Sebelum ia menutup pintu dari luar, Juan berucap, "Gue minta maaf, Ki. Maaf banget, gue tau, gue salah tapi plis jangan jauhin gue."

Persetan! Bajingan!

Gak lama setelah Juan menghilang dari kamarku, setetes cairan hangat ternyata jatuh melewati pipi. Shit.

"Jangan nangis, jangan nangis, jangan nangis.." rapalku berulang untuk menguatkan diri sendiri.

Namun itu semua sia-sia. Semakin aku melontarkan kalimat itu, semakin kencang suara tangis yang aku keluarkan. Cairan hangat makin banyak menetes melewati pipiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membuang napas lalu menghirup napas kuat-kuat. Tapi, seperti ada yang sakit di dadaku. Sambil menepuk-nepuk bagian yang sakit, aku tersenyum getir.

"Gini rasanya sakit hati..."

-

Kelas praktikum Zoologi Invertebrata baru saja selesai. Aku segera membuka jas laboratorium dan melipatnya. Merapikan alat-alat praktikum dan membuang sisa-sisa porifera dan hewan invertebrata lainnya ke tempat sampah khusus.

"Ki, abis beres-beres gue mau ngomong." Raras mendekatiku yang baru saja membalikkan badan sesudah membuang sisa-sisa hasil praktikum.

"Hm," gumamku singkat lalu berlalu dari hadapannya.

Bingung dan heran kenapa tiba-tiba Raras mau ngobrol lagi denganku. Oh, apa ini karena masalah Juan-Raras-Dery? Apa tiba-tiba ia sadar diri kalo udah merusak pertemananku dengan Dery dan Juan?

Rasanya pengen ku colok matanya pake pipet tetes.

Oh ayolah, aku bukan tipe orang yang mudah memaafkan orang. Apalagi ini masalah penghianatan. Pura-pura baik di depanku, bertingkah sok mengaturku agar tidak pergi ke club, dan tidak mau di tipsen ternyata Raras punya maksud dan tujuan tertentu hahaha. Poor me.

Beberapa menit setelahnya, akhirnya aku dan Raras berakhir di bangku taman disekitaran kebun biologi. Aku mencoba menenangkan diri, tidak terbawa emosi, dan sesekali menjatuhkan pandangan ke arah tulisan biologi yang dibentuk dengan beberapa tanaman hias.

Karena Raras tidak langsung membuka pembicaraan jadi aku memulainya. "Ada apa?"

Raras terlihat gelisah. Dilihat dari kakinya yang terus bergerak, jari-jari tangannya yang saling bertautan, dan pandangan matanya yang selalu awas setiap melihat orang yang lewat di depan kami.

"To the point aja deh, gue masih ada kerjaan abis ini." Bohongku, kerjaan rebahan sambil nonton drama sih iya.

Dipikir-pikir suasana hatiku hari ini lebih baik dari kemarin. Mungkin karena aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Teman masih bisa ku cari lagi. Orang seperti Dery dan Juan masih banyak diluaran sana. Kalaupun memang mereka memutuskan untuk tidak mau berteman denganku, setidaknya aku masih punya Eca, atau anak-anak fakultas lain. Jangan terlihat menyedihkan, Ki!

"Gue--gue mau minta maaf."

Aku menoleh sambil menatapnya dengan pandangan bertanya. Pura-pura bodoh dengan situasi yang terjadi.

"Kirain gue yang ada salah sama lo, sampe lo ngejauhin gue kemaren," balasku.

"Gue yang salah sama lo, Ki. Maaf..."

Raras berbicara sambil menunduk. Tak sekalipun ia menatap mataku. Permintaan maafnya seakan-akan hanya sebagai formalitas biasa tanpa arti.

"Terserah lo deh, gue gak ngerti. Udah kan, ya? Gue mau balik nih." Aku berdiri dari tempat duduk lalu melihat Raras yang masih saja menunduk melihat kearah sepatunya.

"Tapi gue minta satu hal sama lo boleh, Ki?"

"Apa?"

Raras mengangkat kepalanya lalu menatapku. "Jauhin Dery, gue pengen Dery buat gue. Lo bisa sama Juan," ucapnya penuh keyakinan.

Dalam hati aku tertawa. Apa yang bikin Juan sampai bisa suka sama psikopat macem Raras sih? Berkepribadian ganda, gak tahu malu, dan egois. Belum lagi tatapan Raras yang sedang menatapku sekarang. Tatapan penuh peringatan, seakan miliknya sudah ku rebut.

"Ambil aja keduanya buat lo. Gue udah gak ada urusan sama mereka berdua."

---

Dery gak muncul muncul yak >

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dery gak muncul muncul yak >.<
Di save buat ending hehehe

Gara-Gara DeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang