Chapter 4 |Khalisa Lagi|

112 10 0
                                    


Harifa mengerjapkan matanya perlahan meneliti sekitar mencoba mengingat apa yang terjadi dan ahh dia ingat sekarang, dia tadi pingsan.

Dia kemudian berdiri sambil memegang kepalanya yang berdenyut nyeri, pusing itu datang lagi. Harifa berjalan ke kamar mandi dengan tertatih tatih.

10 menit berlalu ia keluar dari kamar mandi dan duduk didepan cermin rias menyisir rambutnya yang berantakan tapi rambut panjang nan cantik itu berontokan cukup banyak.

Harifa menatap rambutnya nanar. "Tuhan apakah aku sanggup melewati penyakit ini? Apa aku bisa merasakan kebahagiaan yang selama ini ku cita citakan?."

Ya cita citanya hanya satu merasakan kebahagiaan, itu saja hanya sesimpel itu tapi mengapa terasa sulit menggapainya.

Lama bergelut dengan pikirannya ia beranjak menghempaskan dirinya pada king sizenya. Ia butuh tenaga menghadapi hari besok dan hari esok nya lagi.

...

Mentari pagi memasuki celah jendela kamar seorang gadis yang hati dan batinnya selalu tersakiti, siapa lagi jika bukan Harifa.

Hari ini dia sudah berencana sepulang sekolah nanti ia akan ke rumah sakit.

Senyum diwajahnya terbit ketika ia bercermin ia harus meneguhkan hatinya menghadapi masalah yang baru nantinya, badan yang mulai kurus, wajah pucat nya mulai terlihat. Harifa mengoleskan lip gols merah muda dengan tipis agar bibir pucat nya tak terlihat siapapun.

Menuruni tangga dengan hati hati lalu tersenyum miris melihat keluarganya sarapan tanpa mau mengajaknya.

"Pagi Mah, Pah..."

Mereka hanya melirik sekilas tak ada yang merespon sedangkan Khalisa menatap remeh.

"Pah aku boleh minta uang nggak?," Tanya Harifa pelan takut ayahnya marah.

"Berapa?," Respon papahnya membuat senyum Harifa mengembang.

"Em..aku butuh 1 juta pah," cicitnya hati hati.

Papahnya melotot menatap tajam putrinya itu mau dikemanakan uang itu.

"Buat apa uang sebanyak itu hah?," Tanya ayahnya tajam.

"Aku ada perlu pah penting banget."

"Sepenting apa? Oh atau mau buat senang senang sama teman kamu? Mau ke club? Mau jadi jalang kamu?," Pertanyaan itu begitu pedas dan menusuk.

"Pah aku gak pernah berniat jadi wanita seperti itu kalo papah nggak mau ngasih setidaknya jangan menghina putrimu sendiri," Entah keberanian dari mana ia bisa mengatakan itu sambil menatap tajam papanya.

"Berani kamu lawan papah? Diajari siapa kamu tidak sopan sama orang tua, apa pernah papah ajaran kamu seperti itu apa pernah Harifa?."

"Papah memang nggak pernah ngajarin aku seperti itu tapi apa pernah papah ngajarin aku cara nya bersikap sopan kepada orang? Tidak kan? Semenjak dia hadir papa lupa sama putri papa yang lain nya, papah selalu sibuk dan sibuk ngurusin anak pungut itu dan mama juga nggak pernah nanyain gimana sekolah aku, keadaan aku..."

Harifa mengeluarkan semua unek uneknya yang selama ini ia pendam dengan berlinang air mata. Betapa pedih hati nya ketika orang tuanya hanya diam.

"Jawab pah, kenapa nggak dijawab," erangnya menatap orang tuanya nanar.

"Lebay," gumam Khalisa.

Harifa menghembuskan nafasnya kasar percuma ia menangis sekeras apapun mereka tak akan peduli, biarlah rasa sakit itu berlarut larut, ia tak peduli lagi. Dari pada semakin sakit lebih baik dia pergi berangkat sekolah.

AVOIDWhere stories live. Discover now