//5//

3.5K 436 34
                                    

Vote and comment kalian adalah semangat author buat lanjutin nih cerita~(^з^)-♡

Koreksi kalau ada typo!!






Malam ini ada pertemuan antara CEO perusahaan di sebuah hotel berbintang dan Jefan datang sendirian karena sekretarisnya baru saja lahiran usai cuti sebulan lalu. Pandangannya terfokus pada wanita bergaun merah yang berdiri di samping seorang pria tinggi. Pria itu melihat ke arah Jefan dan melambaikan tangannya. Dia adalah Michael, rekan bisnis Jefan. Yang membuat Jefan terkejut adalah Tyana yang berjalan di sisi pria itu.

"Oh, hai!" Jefan tidak melepas atensinya dari Tyana, sedangkan yang dipandang malah menunduk.

"Kenalin, ini sekretaris saya, Tyana," kata Michael.

"Hai." Jefan tersenyum pada Tyana, perempuan itu membalas dengan senyuman canggungnya juga.

"Sendiri?" tanya Michael.

Jefan mengangguk. "Ya, sekretaris saya lagi cuti melahirkan."

"Oh, kalau gitu saya ke sana dulu ya," ujar Michael dan Jefan mengangguk.

Jefan ingin sekali bicara dengan Tyana, tapi wanita itu selalu mengikuti Michael. Sampai akhirnya, Michael mengobrol dengan rekannya yang lain dan Tyana pergi sendiri ke prasmanan. Jefan pun langsung menghampirinya.

"Tyana."

Tyana menoleh pada Jefan. "Ada apa?"

"Bisa bicara berdua?"

"Saya gak boleh jauh-jauh dari Pak Michael."

"Sebentar aja, ini tentang anak-anak."

Tyana menghela napas pelan dan akhirnya mengangguk. Mereka pun pergi ke tempat yang agak jauh dari keramaian.

"Sebelumnya saya minta maaf. Saya mau jujur tentang Jeno, sebenarnya saya--"

"Kamu bilang ke Jeno kalau saya udah meninggal, kan?" sela Tyana.

Jefan terkejut. "Kamu tahu dari mana?"

"Jeno sendiri yang bilang ke Mahesa."

Jefan mengernyit bingung. "Mereka udah pernah bertemu?"

Tyana mengangguk. "Iya, anak dengan nama Mark itu Mahesa."

"Apa?!"

"Dan Mahesa marah sama kamu, dia sakit hati. Dia pikir kamu gak anggap dia sebagai anaknya lagi."

"Sejak kapan dia tahu kalau Jeno saudaranya?" tanya Jefan.

"Sejak dia curiga sama namanya Jeno, dan dugaannya benar waktu bertemu kamu di rumah sakit."

"Astaga ...." Jefan terduduk dan meremas rambutnya. "Saya udah curiga kalau dia Mahesa karena dia mirip banget sama kamu. Tapi saya ragu karena dia bilang namanya Mark."

Tyana mendengkus pelan. "Itu karena dia gak suka dipanggil Mahesa kecuali sama orang yang keluarga dan gurunya. Dia udah terlanjur marah dan benci sama kamu. Kalau kamu masih nganggap dia sebagai anak, kamu sendiri yang harus jelasin ke dia."

Jefan mendongak menatap mantan istrinya, ia pun berlutut di hadapan Tyana. "Maaf, waktu itu saya gak tahu harus jawab apa karena Jeno terus-terusan nanya tentang kamu. Terpaksa saya bilang kalau kamu udah meninggal biar dia gak nanya lagi. Tapi, kemarin saya udah jelasin semuanya ke Jeno. Tujuan saya ngajak kamu ngomong karena saya mau kita ketemuan berempat sama anak-anak."

"Ada satu lagi kesalahanmu, kamu gak mau minta maaf untuk itu juga?" tanya Tyana.

Jefan beranjak berdiri. "Saya memang bodoh karena lebih percaya sama orang yang udah berkhianat dibandingkan istri saya sendiri. Setelah bertahun-tahun, Jordi akhirnya mengakui kesalahannya. Saya marah dan hampir bunuh dia waktu itu, kalau pacarnya gak datang, mungkin dia udah mati. Kamu tahu? Setelah itu saya hidup dalam penyesalan karena udah melepas hal paling berharga dalam hidup saya, yaitu kamu dan anak-anak kita. Saya minta maaf, Tyana. Saya udah gagal jadi suami dan ayah yang baik buat kamu dan anak-anak."

The Past (Rewrite)Where stories live. Discover now