Chapter 22

16.2K 1.1K 5
                                    

NOT EDITED

Pagi itu di rumahku sendiri , aku terbangun dengan suasana yang membuatku sempat bingung. Seolah-olah adegan penculikan itu seperti mimpi buruk.

Aku melangkah keluar, menuruni tangga, dibawah Ayah sedang duduk membaca koran layaknya, Ayah normal biasanya. Maksudku, tidak terlihat seperti seorang Ayah 'detektif'

Memikirkannya saja, masih membuatku tidak percaya.

"Tere" sahut Ayah yang membuat lamunanku menjadi buyar.

Aku mengerjapkan mataku "Kenapa Ayah masih di rumah? Bukannya..." kataku setengah menggantung

Beliau terkekeh "Tidak, hari ini Ayah mengambil libur"

Aku hanya mengangguk dan mengoles roti dengan selai coklat lalu memakannya dengan lahap. Begitu selesai, ada hening sejenak sambil menunggu makananku selesai dicerna. Kepalaku kembali memikirkan Rey.

Apa dia baik-baik saja?

"Yah?"

Ayah melirikku melalui kacamatanya "Ada apa?"

Entah apa yang membuatku berat untuk bertanya, tapi aku bukan tipe orang yang akan menunggu jawaban sesuai dengan waktunya. Lebih tepatnya aku adalah orang yang tidak sabaran alias pemaksa.

"Apa yang terjadi sebenarny?" tanyaku.

Ayah menutup korannya , dan menghela nafas panjang, memperbaiki posisi duduknya, dan menatapku.

"Tere, sebelumnya Ayah minta maaf karena merahasiakan pekerjaan Ayah sama kamu, tapi inilah Ayah"

"Apa yang terjadi dengan kamu dan Bunda kamu, itu adalah sepenuhnya kesalahan Ayah. Ayah sudah salah membunuh orang, Nak."

"Ayah yakin apa yang terjadi pada kita, bukan karena kakek Rey marah karena ayah menjebloskannya ke penjara akibat kasus suap miliknya. Tapi, karena Ayah telah membunuh, anaknya."

Aku memegang tangan Ayah "Jangan salahin diri, Ayah."

Ayah tersenyum, meski aku tahu di dalam dirinya. Ia masih menyalahkan dirinya.

"Ayah hanya takut, jika kamu akan semakin merasa sedih dengan keadaan seperti ini." jawabnya sambil menatapku. Tatapan khas seorang Ayah yang begitu khawatir dengan anaknya.

"Maksudnya?"

Ayah kembali menghela nafas dan memegang tanganku "Jangan menemui Rey lagi."

Aku tersentak, bagaimana bisa aku tidak boleh menemui Rey lagi sementara dia lah yang membiarkanku pergi. Tidak.

Aku mengendus tawa "Tere gak mungkin ngelakuin itu dia udah nyelamatin aku, Yah"

Beliau menggeleng "Tidak Tere, dengarkan Ayah sekali saja.Ada hal yang tidak bisa kita paksakan."

Aku menatap Ayah, lalu melepaskam tanganku dari genggamannya , dan berlari menaiki tangga.

Aku bukan Tere yang gampang begitu saja menyerah dengan keadaan, kalau Ayah tidak mau memberitahuku dimana Rey, aku sendiri yang akan mencari tahu.

***
Cahaya matahari yang tertutupi oleh awan, menampakkan bayanganku di jalan yang kulewati.

Banyak daun yang berguguran menemaniku, sesekali aku menoleh ke belakang untuk melihat keadaan. Aku tadi sempat mendengar pembicaraan Ayah di telfon dengan seseorang dan menyebutkan suatu tempat yang ku tahu adalah nama penjara yang berada di kotaku.

Begitu aku mendengarnya, aku langsung bergegas keluar tanpa pamit sekalipun. Di bayanganku hanyalah Rey. Aku harus menemuinya.

Aku tahu ini bodoh, berjalan kaki beratus-ratus meter sementara aku memiliki mobil yang bisa ku gunakan tanpa harus melukai kakiku.

Flip FlopWhere stories live. Discover now