-21-

130 35 1
                                    


    "Oh, Astaga!" Livy terperanjat saat pintu rumah Wonwoo mendadak terbuka bahkan sebelum gadis itu memutar kenopnya.

Ia tadi buru-buru pulang ke rumah untuk memberitahu Wonwoo mengenai apa dan siapa yang baru saja ia temui. Tapi justru karena itu, kewaspadaannya berkurang. Jadi, waktu Yerim membuka pintu rumah bertepatan dengan ia yang juga ingin membukanya, ia malah kaget bukan main.

"Oh, Unnie, maaf membuatmu kaget," ujar Yerim merasa bersalah.

Livy menggeleng. "Tidak apa-apa, aku tadi sedang buru-buru." Ia kemudian memindai penampilan Yerim yang terlihat rapi. "Kau sudah mau pergi ke acara ulang tahun temanmu?"

Yerim mengangguk sembari tersenyum. "Iya, acaranya akan segera dimulai jadi aku tadi juga buru-buru."

"Ah, begitu. Kau terlihat cantik," puji Livy. Ia kemudian melongok sedikit ke dalam rumah. "Oppamu ada di rumah?"

"Iya, dia mengurung diri di kamarnya. Aku rasa sedang mengurusi kasus." Yerim kemudian menyingkir dari depan pintu. "Unnie, aku akan terlambat, aku akan pergi duluan!"

Belum sempat Livy menjawab, Yerim sudah lebih dulu berlari melewatinya. "Hati-hati, Yerim-a!" teriaknya saat presensi Yerim mulai menghilang dari pandangan gadis itu.

Livy menghela napas, lalu mengingat kembali niatnya semula untuk cepat-cepat sampai rumah. Si gadis Seo buru-buru menutup pintu, lantas melangkahkan tungkainya ke arah kamar Wonwoo.

Tangan kanannya dikepalkan, kemudian dipakai untuk mengetuk pintu kamar kayu itu. "Oppa? Apa kau ada di dalam?"

Wonwoo menyahut dari dalam, "Masuklah!"

Usai dapat persetujuan dari pemilik kamar, si gadis Seo akhirnya memutar kenop pintu dan masuk ke dalam kamar.

"Kau masih menganalisis kasus?" tanya Livy selepas duduk di samping Wonwoo.

Si Jeon membenarkan letak kacamatanya. Di dahinya ada kerutan samar pertanda ia memang sedang serius dengan apa yang dikerjakan. "Iya. Aku tidak mengerti mengapa pelakunya sangat teliti. Bayangkan saja, bahkan tidak ada kamera pengawas yang menangkap keberadaannya atau jejak lain yang ia tinggalkan."

Ragu-ragu, Livy mulai bicara soal tujuannya menghampiri Wonwoo. "Oppa, sebenarnya ...," Livy menggantung ucapannya, tapi kembali dilanjutkan saat Wonwoo mulai menaruh atensi padanya, "sebenarnya tadi aku mampir ke minimarket ujung jalan untuk menemui Nenek Peramal waktu itu."

"Lalu? Kau menemukannya?"

Livy menggeleng kecewa. "Tidak. Aku sudah mencari di sekitar sana, tapi Nenek itu entah ke mana." Livy mengubah ekspresi kecewanya menjadi antusias. "Tapi aku menemukan sesuatu yang lain. Aku rasa ini bahkan lebih berharga untuk saat ini."

Tampak mulai tertarik dengan obrolan, Wonwoo kini menegakkan duduknya dan menghadap pada Livy sepenuhnya. "Ada apa?"

"Aku mendengar seseorang bicara di telpon dari jauh, lalu karena topiknya familiar, aku mendekatinya." Livy mengerutkan dahi berusaha mengingat secara detail apa yang ia dengar tadi. "Aku yakin kalau orang itu mengatakan soal target selanjutnya. Ia juga menyebut nama Chan Woo."

Wonwoo memiringkan kepalanya beberapa derajat. "Kau yakin itu berkaitan dengan kasus kita? Bisa saja itu Chan Woo yang lain, bukan korban terakhir kemarin."

Livy menggeleng yakin. "Dengar, awalnya aku juga berpikir begitu. Tapi begitu melihat identitas orang itu, aku rasa kemungkinan besar ini berkaitan dengan kasus kita."

"Memang siapa orang itu?"

Livy berbisik. "Lee Chan. Putra dari Walikota Lee sekaligus pemilik LC Technology." Ia menormalkan cara bicaranya. "Bukankah korban terakhir kemarin adalah putra salah satu eksekutif di sana? Apa menurutmu agak aneh kalau dia tidak kenal putra salah satu eksekutif di perusahaan ayahnya sendiri? Apa lagi, mereka seumuran."

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Where stories live. Discover now