-11-

147 39 0
                                    

        Livy tidak tahu apa lagi yang salah dengannya

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

   
    Livy tidak tahu apa lagi yang salah dengannya. Hanya saja, semenjak mendengar ucapan peramal tadi, pikiran gadis itu jadi terganggu, lebih dari yang sebelumnya.

Sebelum ini, Livy bukan tipe yang percaya takhayul, hal-hal mistis, dan sebagainya. Tapi kalau untuk sekarang, situasi seperti memaksa Livy agar mau tidak mau mempercayai hal-hal semacam itu. Akibat itu juga, rasanya Livy hampir menganggap dirinya sakit jiwa.

Ketika pintu kamarnya diketuk pelan, kemudian presensi Wonwoo menyusul masuk ke dalam sana, Livy tidak bisa berikan respon apa-apa selain menatap si Jeon. Lelaki itu masih seperti biasa, tanpa ekspresi, tapi aneh karena Livy tetap merasa aman waktu di dekat Wonwoo.

"Kau belum makan malam." Wonwoo menaruh semangkuk bubur di atas nakas. "Aku membuatnya sendiri, jadi habiskan. Jangan membuatku sia-sia memasak."

Tanpa disadari dirinya sendiri, Livy tersenyum tipis—sangat tipis sampai hampir tidak kelihatan. Tidak mau bohong juga, hatinya ikut menghangat seperti bubur itu. Sebab, Livy sudah lama tidak merasa diperhatikan.

"Kau dan Ibumu ternyata mirip," kata Livy. "Waktu pertama tahu kalau kau adalah anaknya, aku tidak percaya karena kupikir sifat kalian bertolak belakang. Ibumu seperti api yang bisa menghangatkan badan, sedangkan kau lebih mirip bongkahan es."

Wonwoo terkekeh pelan begitu mendengar penuturan Livy. "Memang kalau sekarang bagaimana?"

Gadis itu mengalihkan pandangan seolah gengsi untuk mengakui apa yang ada di pikirannya saat itu. "Yah, kau cukup baik. Kau pandai merawat seseorang seperti Ibumu."

"Apa Ibuku bukan Ibumu?"

Pertanyaan itu sanggup membuat Livy bisu selama beberapa sekon. Terlintas memori masa lalu saat papanya masih bersanding dengan ibu Wonwoo. Kalau dalam situasi normal, seorang anak akan sedih ketika mendapati orang tua mereka bercerai. Lebih buruk lagi, itu bisa berdampak pada mental anak. Biasanya juga, ibu tiri cenderung tidak disukai. Namun, kalau dalam situasi Livy jelas beda.

Ia yang sedari kecil dituntut untuk jadi sempurna hanya karena mamanya mata duitan dan menggunakan Livy sebagai alasan ia bertahan di rumah itu, anehnya tidak merasa sedih waktu kabar perceraian orang tuanya tersiar di mana-mana. Waktu pertama kali Nyonya Seo meninggalkan rumah dan Livy, gadis itu tidak ikut mengantar. Ia cuma menatap dari balik jendela dengan ekspresi datar, tapi perasaannya senang.

Waktu ibu Wonwoo dan Wonwoo pertama datang ke rumah itu, Livy sedang merajuk pada papanya. Nyonya Jeon langsung bisa meyakinkan Livy saat itu. Entah kenapa, tapi untuk pertama kali Livy merasakan kasih sayang yang sebenarnya.

Gadis itu bicara dengan lirih, "Ibuku juga ...," katanya.

Entah digerakkan oleh apa, tapi tangan Wonwoo secara spontan mengelus pucuk kepala Livy setelah dapat jawaban dari gadis itu. Pada detik selanjutnya ketika ia sadar akan hal itu, situasi di antara mereka malah menjadi canggung.

"Ah, tadi—" Ketika Wonwoo hendak menjelaskan situasinya, bel di rumah mereka berbunyi.

"Aku akan pergi mengecek ke luar," pamitnya kemudian.

Kedua tungkai Wonwoo berjalan cepat ke pintu utama ketika rungunya tangkap suara bel terus berbunyi seperti seseorang memaksa Wonwoo cepat ke luar karena ada hal mendesak.

Begitu pintu itu dibuka, yang Wonwoo temukan malah seorang gadis dengan tubuh lebih pendek darinya, terengah-engah sambil tunjukkan ekspresi takut.

"Yerim? Kenapa kau di sini?" Kening Wonwoo mengerut samar waktu dapati sepupunya di depan sana.

"Oppa, apa aku bisa tinggal di sini untuk malam ini?" Gadis itu bicara pada Wonwoo, tapi matanya tampak tidak fokus, melirik ke arah lain secara terus-menerus.

Melihat gelagat adik sepupunya, Wonwoo tidak menjawab, tetapi lebih dulu membawa Yerim ke dalam sebab gadis itu tampak was-was sedari tadi.

Begitu keduanya sudah duduk di sofa ruang tamu, barulah Wonwoo putuskan untuk buka suara, "Kau kenapa?"

Yerim tersenyum, tapi entah kenapa kalau bagi Wonwoo, itu lebih kelihatan seperti senyuman yang dipaksa. "Aku tidak apa-apa, oppa. Hanya saja ... tadi aku mimpi buruk. Kau tahu 'kan, aku selalu di rumah sendirian." 

Benar juga. Wonwoo hampir lupa kalau Yerim selalu di rumah sendirian semenjak kepergian ayahnya. Anak itu, ibunya sibuk bekerja di luar kota sampai tidak mengurus Yerim. Biasanya, Wonwoo yang akan memperhatikan Yerim. Tapi semenjak kedatangan Livy baru-baru ini, ia jadi melupakan Yerim.

"Baiklah kalau begitu. Tapi kau mau tidur di mana? Aku belum sempat membersihkan kamar Ibu."

"Bukankah ada kamar milik Wonwoo oppa? Aku tidur di sofa juga tidak apa."

Wonwoo memijat pelipisnya, lupa bilang kalau di kamarnya sudah ada penghuni. "Tidak bisa. Ada seseorang di kamarku. Kau juga tidak boleh tidur di sofa."

Kedua alis Yerim hampir bertautan. "Ada seseorang? Siapa?"

Belum sempat Wonwoo menjawab pertanyaan Yerim, Livy malah ke luar kamar sambil membawa mangkuk bubur yang kini sudah kosong. Gadis itu menghentikan langkahnya ketika ditatap Yerim.

"Dia ... siapa?" tanya Yerim tanpa mengalihkan pandangan dari Livy.

Wonwoo menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Ah, itu. Dia temanku," jawabnya bohong.

Livy mengernyit heran saat Wonwoo berbohong tentang identitasnya. Tapi gadis itu tidak ingin berpikir terlalu banyak. Siapa tahu, gadis yang jadi tamu itu adalah kekasih Wonwoo. Mungkin Wonwoo takut gadis itu cemburu.

Tanpa diduga, Yerim mendadak berdiri dan membungkuk beberapa derajat sebagai tanda sopan santun pada Livy. "Selamat malam, aku adik sepupunya Wonwoo oppa." Kemudian, pandangan Yerim beralih pada Wonwoo. Gadis itu memicing curiga. "Tapi kenapa teman Oppa tinggal di sini? Di kamar Oppa?"

Wonwoo gelagapan. Lelaki itu segera mengisyaratkan Livy pergi dari sana dan melakukan aktivitas sebelumnya. "Yerim, jangan begitu. Kau akan membuat Livy Unnie tidak nyaman 'kan?"

Yerim kembali mendudukkan bokongnya pada sofa. "Tapi aku setuju kalau kalian pacaran," ucapnya, sebabkan Wonwoo menghela napas jengah. "Dia cukup cantik," Yerim menyambung kalimat sebelumnya.

Jemari Wonwoo menyentil dahi gadis itu. "Kau ini jangan berpikir yang macam-macam. Habis ini bersihkan saja kamar Ibu kalau mau tidur."

"Kenapa kau bohong?" itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan Livy begitu Wonwoo memasuki kamarnya untuk mengambil selimut baru.

Si Jeon mengusap tengkuknya canggung. "Ah, itu ... aku hanya tidak mau Yerim ribut kalau tahu kau adik tiriku."

"Kenapa? Karena berita kalau putri keluarga Seo adalah pembunuh?"

Pertanyaan Livy barusan cukup menohok Wonwoo. Sebenarnya, itu juga salah satu alasan Wonwoo tidak mengatakan siapa Livy. Karena si Yerim mungkin tahu soal kasus putri keluarga Seo. Apa lagi kalau Yerim tahu Livy adalah adik Wonwoo, mungkin gadis itu akan merasa tersingkir karena sebelumnya, Yerim adalah satu-satunya adik bagi Wonwoo.

"Jangan berpikir aneh-aneh." Wonwoo mengibaskan tangannya ke udara, kemudian berjalan ke arah pintu. "Aku pergi dulu," pamitnya disusul dengan pintu yang ditutup.

Seperginya Wonwoo, si gadis Seo kembali berkutat dengan pemikiran soal ucapan peramal tadi. Sebenarnya, Livy masih agak meragukan kemampuan manusia yang bisa meramal. Namun, entah kenapa hal itu terus saja menganggu Livy, sebabkan gadis itu tidak tenang.

Entah kenapa, Livy mulai merasa sekelilingnya sudah tidak aman lagi.

[]

Astaga, akhirnya bisa update ㅠㅠ

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Där berättelser lever. Upptäck nu