Prolog

520 80 69
                                    


"Jika saya terpilih nanti, saya akan—"

Aku mematikan siaran radio yang mengganggu itu, terlalu muak dengan perkataan orang yang berbicara barusan. Menarik tanganku dari tombol radio itu, aku menarik napas dan kembali menyandarkan kepala di kursi.

Saat ini aku duduk tenang di balik kemudi, berusaha fokus sambil sesekali memainkan ponsel di tangan. Sesekali aku melirik ke depan sana karena pandanganku terhalan topi yang kupakai. Suara-suara di balik earpiece ini tak kunjung membantu. Mereka yang berada di sisi lain kota ini sedang berkoordinasi mengenai pengaturan lalu lintas nanti.

Sedangkan aku di sini, menunggu sang paket dimasukkan ke mobil hitam di depan sana. Lahan parkir ini lengang, hanya terdengar deru pipa-pipa besar yang terpasang di atas sana. Mobil yang keluar masuk menggema ketika melewati lempeng besi di ujung kanan. Penerangannya remang, khas basement apartemen Jakarta.

Aku menghela napas. Sesekali mengetuk-ngetuk jari ke paha, sekedar memecah kebosanan.

"Update?" tanyaku pada orang-orang di seberang sana melalui penghubung di telinga.

"Belum ada tanda-tandanya. Keamanan gedung ini tidak bisa ditembus," jawab seorang wanita yang suaranya sangat kukenal.

Dua orang yang berjaga di depan lift juga tidak berkelakukan banyak, mereka hanya diam di sana dengan senjata laras panjang tersampir di depan dada, menjaga lift.

Aku menggaruk pelipis, seharusnya mereka sudah turun sejak tadi.

"Ingatkan aku lagi kenapa kita tidak langsung mendobrak ke dalam?" tanyaku.

"Polisi yang memiliki wewenang untuk menangkap dan memberi—"

"—Memberitakan kepada media. Mengerti," potongku. "Mereka selalu mengambil kredit atas segalanya, bukan?"

"Mm-Hm," jawab seseorang di seberang sana.

Tepat saat itu, aku melihat lampu lift yang berkedip pelan sebelum pintunya membuka lebar. Terlihat beberapa orang di sana—sekitar lima atau enam, aku tidak tahu—dan paketnya berada di tengah-tengah mereka, terborgol dengan kepala ditutupi kain hitam, dipaksa untuk tidak melihat apapun.

Lahan parkir ini lengang, sebisa mungkin aku tidak menarik perhatian. Beruntung, mobil yang ku gunakan sekarang adalah mobil listrik, sehingga tidak mengeluarkan banyak suara. Cukup dengan mematikan lampu depan, keberadaanku di pojok sini sudah bisa dibilang aman. Ditambah, aku mendapat view bagus dari spot ini.

"Jo, kau lihat ini?" Aku bertanya pada seseorang di belakang sana.

"Y-ya. Dion sedang mengidentifikasi wajah mereka sekarang," jawab Johan terbata.

"Kau gugup, Jo?" Aku bertanya.

"Diamlah, sialan. Aku mencoba fokus."

Aku tergelak. Menyenangkan sekali menggoda Johan.

Ini adalah misi pertama Johan sebagai koordinator, wajar ia gugup. Biasanya ia hanya mengurusi dan menginstruksi apa yang harus kulakukan melalui earpiece. Namun, sekarang ada lima orang yang berada dalam pengawasannya. Dua orang yang mengatur lalu lintas, satu orang mengawasi dari drone, satu lagi menginstruksi agen lapangan,.

Oh, dan omong-omong, aku adalah seorang agen lapangan. Namaku Gellar.

Tiga orang di depan sana masuk ke dalam sebuah mobil Jeep hitam, empat jika menghitung orang incaranku. Kutebak mobil itu antipeluru. Sedangkan empat lainnya berpisah dan masuk ke dua mobil sedan hitam.

Ketiga mobil itu bergerak pelan menuju pintu keluar. Aku menghitung satu sampai lima sebelum memasukkan perseneling dan membelokkan kemudi, mulai bergerak.

KILOMETERWhere stories live. Discover now