Kilometer 7

92 18 9
                                    

Konvoi itu memasuki jalanan Kota Jakarta, cuaca cerah berawan menemani perjalanan mereka hari ini.

Tidak banyak orang yang berlalu-lalang layaknya Jakarta pada umumnya, tak pelak karena demo yang sedang terjadi di pusat kota.

Demo yang didasari putusan anggota dewan mengenai rancangan undang-undang tentang pelemahan kinerja lembaga antikorupsi.

Mobil yang Gellar tumpangi melesat dengan kecepatan sedang di jalan protokol. Empat mobil lainnya mengawal di depan dan belakang, juga dengan kecepatan sedang. Jalanan sepi, tidak terlalu banyak mobil di sana, satu persatu menyingkir dari jalur sebab mendengar bunyi sirine dari dua mobil terdepan.

Mereka yang menyingkir tidak tahu menahu dan tidak peduli tentang keadaan yang sedang terjadi. Yang mereka tahu, mobil berlabel polisi sedang melintas. Mungkin sedang transfer tahanan.

Konvoi berbelok ke arah timur, memasuki kawasan gedung tinggi dan jalanan yang tidak terlalu lebar. Empat mobil pengawal mengatur ulang posisi mereka agar tidak mengambil hak pengguna jalan lain.

BAM.

Terdengar suara dentuman kecil dari luar.

Seorang petugas yang duduk di sebelah Gellar refleks mengokang senjata laras panjangnya, panik.

Professor melihat petugas itu terlalu tegang, "Tenanglah, Nak. Jika kau mendengar suara tembakan, itu bukan untukmu," ujarnya santai.

Profesor sangat tahu apa yang sedang dihadapinya, ia tidak bodoh. Mereka yang mengincarnya adalah orang-orang yang berbahaya.

Meskipun mereka tak segan menembak si Profesor, namun mereka juga membutuhkannya hidup-hidup. Jadi, ia bisa sedikit tenang.

Benggala menahan kekehannya melihat petugas kikuk itu, namun Profesor mendengarnya.

"Kau, kenapa tidak pegang mainan seperti mereka?" tanyanya saat melihat Benggala hanya bersenjatakan sebuah pistol kecil.

Benggala mengangkat bahu, "Mereka tidak mau main denganku," jawabnya.

"Lagi pula, dengan ini aku masih jauh lebih hebat." Benggala percaya diri sambil memamerkan pistolnya pada Sang Profesor.

Gellar mendengus. "Yang benar saja, kau bahkan tidak tahu cara menggunakannya," ejeknya. Sebagian petugas tertawa dengan lawakan receh Gellar.

Benggala menggeram sebelum berdiri, "Oh ya? Mau kutunjukkan?!" geramnya kemudian mengokang pistolnya cepat dan menargetkannya ke arah Gellar.

Petugas lain yang melihat itu segera melakukan hal yang sama terhadap Benggala. Mengokang senjata laras panjang mereka dan mengarahkannya pada pria itu.

Gellar mengangkat bahu, tidak peduli. Pria itu tidak akan berani menarik pelatuknya.

Empat petugas yang bersama mereka masih belum menurunkan moncong senjatanya terhadap Benggala. Mereka tidak mengenal siapa pria ini, jelas mereka akan membela Gellar.

Enak saja ia mengancam Gellar.

Para petugas bersenjata di Markas Besar Intelijen mengenal Gellar. Pria itu baik, ramah, namun di saat bersamaan juga sangat mengintimidasi. Mereka menghormati Gellar bukan hanya karena sifatnya, namun juga karena pencapaian pria itu selama karirnya yang tak boleh diremehkan.

Intinya, Gellar adalah panutan bagi para juniornya.

Benggala belum menurunkan moncong pistolnya, ia fokus pada sesuatu yang lain. Gellar sudah tampak tidak peduli dan memilih membuang muka.

Benggala mendengar sesuatu, sebuah suara dari kejauhan sana. Semakin terdengar ketika kendaraan yang ia tumpangi semakin dekat ke sumbernya.

Bip.

KILOMETERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang