Kilometer 3

145 45 41
                                    

Benggala digiring ke arah poliklinik untuk mengobati cedera dan memastikan pria tersebut tidak membawa benda aneh dalam tubuhnya. Pria itu berjalan dikawal oleh sekelompok orang bersenjata yang jumlahnya sekitar selusin.

Memasuki ruangan putih tersebut, hal pertama yang Benggala rasakan di permukaan kulitnya adalah hembusan dingin pendingin ruangan yang menderu halus.

Matanya memantau sekeliling dan mendapati ruangan enam belas meter persegi tersebut seluruhnya dicat putih.

Dibandingkan poliklinik, ruang ini lebih cocok disebut ruang karantina.

Brangkar berada di tengah ruangan dengan lampu khas operasi meneranginya, seakan memberi tahu bahwa ia adalah primadona di ruangan tersebut. Di sebelahnya tertata sebuah AED canggih berwarna abu terang yang selaras dengan warna ruangan.

Benggala berjalan ke arah kursi yang terletak di hadapannya. Pria itu mulai melakukan apa yang diperintahkan, menanggalkan seluruh pakaian yang melekat pada tubuhnya.

Kini tersisa seorang pria yang hampir telanjang berjalan menuju brangkar dan beranjak duduk di sana. Kakinya yang menggantung menendang pelan udara, tangannya menopang berat tubuh pada sisi besi brangkar tersebut, serta angin dingin secara langsung menyapu permukaan punggungnya.

Kepala Benggala terangkat, menatap lemari putih di depan sana yang berisikan obat-obat dan alat yang diperlukan untuk keperluan medis.

Menerawang lagi isi ruangan ini, tak banyak hal baru yang ditangkap netranya.

Benggala mengetuk-ngetuk jari, membuat ritme konstan yang mengisi keheningan. Ia masih menunggu petugas medis yang akan memeriksanya. Matanya bergerak ke arah pintu tempatnya masuk tadi, belum ada tanda-tanda seseorang akan melewati pintu tersebut.

Perlahan matanya terpejam, telinganya berdengung pelan. Mencoba fokus, Benggala dapat mendengar berbagai macam suara yang hampir teredam. Suara langkah kaki berlalu lalang di lorong belakangnya, suara penderu ruangan yang sedari tadi berdengung pelan, dan suara-suara lainnya yang tidak dapat didengar oleh manusia pada umumnya.

Cklek,

Benggala membuka mata, melihat dua pria asing berseragam putih khas perawat memasuki ruangan. Tersenyum sebentar, salah satu pria tersebut berbalik menuju lemari, melakukan sesuatu terhadap alat-alat di sana.

Sedangkan pria satu lagi bergerak ke arah Benggala dan berdiri tepat di hadapannya, tangannya meraih saku kiri seragamnya. Benggala tidak berasumsi aneh-aneh saat itu. Hingga,

"Halo, Galaksi." Pria itu tersenyum.

Hanya sedikit orang yang mengetahui nama asli Benggala. Secepat pikiran tersebut datang, secepat itu pula sebuah suntikan berisi obat bius mengarah padanya.

Benggala sempat menghindar, membuat alat suntik tersebut meleset dari pahanya. Benggala menghentak ubun-ubunnya ke kepala pria perawat, membuat pria itu mundur dua langkah.

Hal itu digunakan Benggala sebagai kesempatan untuk menyelamatkan diri, ia berguling ke sisi lain brangkar, menjauhkan dirinya dari jangkauan pria tersebut.

Pria itu meletakkan alat suntiknya di meja aluminium, ia akan menangkap Benggala terlebih dulu sebelum membiusnya. Pria itu mengambil pisau dari pria botak sebagai senjata. Sedangkan si pria botak sedang meracik sesuatu di sana yang Benggala yakin sebagai obat bius yang lebih kuat.

Pria satu mulai menyerang, kali ini lebih pelan dengan kuda-kuda stabil dan sikap siap tempur yang diperlihatkannya. Benggala tidak perlu itu, ia hanya perlu pria itu untuk bergerak sedikit lebih dekat padanya.

Dan, BAM

Benggala menghentak lampu operasi tepat pada tengkorak pria itu. Malangnya lampu tersebut, kini serpihannya berserakan di lantai. Oh, dan pria tersebut jatuh dengan wajah menghempas ke lantai.

KILOMETERWhere stories live. Discover now