Kilometer 1

174 42 27
                                    

"Baik, apa yang sedang kulihat ini?" Gellar membalik lembaran kertas dihadapannya.

"Dokumen tentang orang yang kau jemput kemarin lusa," ucap pria itu. "Kau harus mengetahui seluk beluk lawanmu dulu sebelum bertanding, bukan?"

"Aku akan melawannya?" Gellar mengalihkan tatapan kepada atasannya itu sekarang.

"Tidak, kau hanya mengantarkannya."

Tatapan Gellar kembali pada berkas di pangkuannya, dan menemukan sebuah nama yang terasa tidak asing berada dalam lampiran berkas tersebut. "Randi Suryatama? Bukankah polisi sudah menangkapnya?"

Atasannya menggeleng, "Belum."

"Oh, mengejutkan," jawab Gellar sarkas kemudian membalik halaman kertas itu dan mulai membaca daftar aset milik kader Partai Badak Cula Satu itu.

"Orang-orang suruhannya sepertinya mengejarku tadi," lanjutnya sambil menunjuk foto Randi Suryatama. Gellar membaca kembali profil paketnya sebentar lalu meletakkan dokumen itu di meja. "Lalu, yang ini diapakan? Dia seorang profesor."

"Dibawa ke tempat aman. Terima kasih padamu, Randi murka besar kemarin sore," terang pria itu sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Salahkan orang-orangnya yang tidak becus. Lagipula, jika mereka mau memberikan professor itu secara cuma-cuma, aku tidak akan membuat kekacauan," bela Gellar.

Atasannya memutar bola mata, sudah hafal sekali sifat Gellar yang satu itu.

Memang bukan salah Gellar, perintah yang diberikan pada pria itu jelas sekali mengatakan untuk mengambil alih professor tersebut dengan cara apapun. Garis bawahi kata apapun.

Gellar membalik lagi kertas tersebut ke halaman selanjutnya. "Dan ini?" tanyanya sambil menunjukkan apa yang ada di kertas itu pada atasannya. Lembaran yang hanya berisi tulisan resume kerja, tanpa foto ataupun nama.

"Teman," jawab atasannya tenang.

"Tapi dia dari Sumatera," ucap Gellar ragu kemudian meletakkan kertas tersebut ke atas meja. "Kenapa Sumatera ikut campur?"

"Sebenarnya pihak Sumatera sudah mengincar dari jauh-jauh hari, tapi karena Randi bertingkah dengan membawanya ke Jakarta, jadi kita harus bekerja sama dalam misi ini," terangnya.

"Lalu?" pancing Gellar.

"Dengar Gellar. Tidak ada tempat yang aman lagi di Jakarta. Randi Suryatama akan mengejar orang itu sampai ujung dunia."

Gellar mendengarkan.

"Jadi, kau harus membawa si Professor tadi ke tempat yang bisa dibilang aman," lanjutnya.

"Yaitu, di...?" tanya Gellar. Pria itu mulai memahami jalan pikiran atasannya tersebut.

"Jogjakarta."

Gellar tak dapat menyembunyikan kerutan di dahinya, "Jogjakarta? Kenapa Jogjakarta? Ada apa di Jogjakarta?"

Atasannya bedecak pelan, pria tiga puluh empat tahun ini terlalu banyak bertanya. "Perintah langsung dari atas, aku tidak tahu mengapa, Aku hanya diberi tahu kalau di sana ada sebuah fasilitas tingkat tinggi," jujurnya.

"Fasilitas Tingkat Tinggi?" ulang Gellar.

"Aku tidak tahu, Gellar. Itu perintah langsung dari atasan, Beliau bersikeras kau yang harus ke Jogjakarta."

Baiklah, Gellar menerima pernyataan itu.

Gellar kembali membaca ulang berkas di pangkuannya. Sekali lagi matanya tertuju pada nama Randi Suryatama. "Tolong katakan lagi apa kaitan Randi Suryatama? Bukankah aku sudah mengambil aset itu darinya?"

"Dan kau berpikir dia akan senang dengan hal itu?"

Gellar mengangkat bahu. Mana ia tahu.

"Intel mengatakan bahwa Randi Suryatama kemungkinan besar adalah salah satu orang di balik organisasi gelap di Indonesia. Kita percaya bahwa dia bertanggung jawab preman jalanan, prostitusi, dan pengedaran narkoba," Atasannya melanjutkan.

"Woah, aku tidak tahu seorang anggota parlemen ternyata begini, pantas saja dia sering cuci tangan," ucap Gellar sambil menaruh berkas tentang Profesor ke atas meja.

"Jangan percaya segala hal dari media, Gellar," Atasannya terkekeh.

Randi Suryatama memang terkenal dengan perangainya yang sedikit bermasalah, hobi senggol sana-sini, dan cenderung melantur jika diajak berdebat.

"Lalu apa hubungannya dengan Profesor ini? Apa dia salah satu pengedar?" tanya Gellar lagi.

"Kami sebenarnya tidak tahu hubungan Randi dengan si Profesor. Namun, melihat reaksinya kemarin lusa, kurasa dia merupakan salah satu orang penting. Mungkin dia juga tahu tentang seluruh operasi bawah tanah Randi Suryatama," Atasannya mengaku.

"Seorang saksi kunci?"

"Bisa jadi," jawab atasannya.

"Jadi aku harus mengamankannya ke Jogjakarta?"

Atasannya mengangguk. "Benar. Kita tidak ingin kehilangan Profesor ini, dan orang-orang suruhannya ada di mana-mana. Maka dari itu, kau diperintahkan langsung dari atas untuk mengamankannya ke Fasilitas Tingkat Tinggi di Jogjakarta, dengan bantuan agen dari Sumatera itu tentunya."

"Siapa dia?"

Atasannya melihat arloji emas di balik jas hitamnya. "Oh, kau akan menemuinya sebentar lagi."

***

tbc.

KILOMETERTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon