Kilometer 4

87 19 38
                                    

Gellar menggoyang-goyangkan pelan miliknya, memastikan tak ada lagi yang menetes sebelum ia menaikkan kembali resleting celana dan berjalan menuju wastafel untuk membasuh tangan.

Dinginnya air keran membasuh tangan Gellar, pria itu lalu menampung sedikit air pada tangannya yang ia bentuk seperti mangkuk lalu membasuhnya pelan ke wajahnya.

Gellar tidak tidur semalaman, tidak bisa tidur tepatnya. Setelah pertempurannya dengan Benggala, ia memilih bermain di ruangan Johan yang sepertinya tidak keberatan. Sepertinya bermain bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Gellar semalam, sebab pria itu hanya rebahan di sana.

Sarah—rekan kerjanya sempat mampir. Wanita itu cemas akan keadaan Gellar. Setelah meyakinkan Sarah bahwa dirinya tidak apa-apa, dan menolak seluruh tawaran agar Gellar menginap di apartemennya malam ini, Gellar sukses mengusir wanita yang jelas sekali menyimpan perasaan terhadapnya itu.

Hingga pukul setengah sembilan malam, ia dikejutkan dengan kabar Benggala yang pingsan. Barulah ia mengetahui ada orang lain yang berniat menggagalkannya. Maka dari itu, ia dan Johan diperintahkan untuk menjaga Benggala. Gellar keberatan sebenarnya, tapi perintah atasan adalah mutlak. Suka tidak suka ia harus mengasuh Benggala semalaman.

Gellar menatap cermin di depannya, netranya menangkap sebuah wajah yang terluka si bagian pelipis kanan, sedikit pucat, dan wajah yang basah karena tangannya baru saja membasuh wajah tersebut. Apa yang harus ia lakukan? Gellar merenungi apa yang akan terjadi kedepannya, sebelum seseorang masuk ke toilet pria dan melihat Gellar sedang mencuci tangan di sana.

Gellar mengeringkan tangannya dan segera berjalan keluar ketika staf kantor yang masuk tadi sudah berdiri di hadapan sebuah urinoir.

Dinginnya udara pendingin ruangan menerpa kulitnya begitu ia menapak pada sebuah karpet di sepanjang koridor itu. Ia melangkah kembali menuju ruangan Johan mengingat 'rekan'-nya masih terbaring di sana.

Sekarang pukul setengah lima pagi, kantor sepi sebab memang bukan jam kerja. Namun, beberapa orang masih berlalu lalang guna menjaga kantor tetap hidup, termasuk Gellar dan Johan yang malam ini lembur total.

Seorang staf wanita berjalan bersisian dan menyamai kecepatannya dengan Gellar. Gellar melirik wanita yang memakai seragam staf berwarna abu tua dan sebuah map dalam genggamannnya.

Pria itu tidak berhenti namun tangannya terangkat kehadapan si wanita, meminta sesuatu darinya. Begitu Sarah memberikannya, Gellar berhenti.

"Siapa ini?" tanyanya karena benda yang berada di tangannya sekarang bukanlah sebuah map yang ia ekspektasikan, melainkan selembar foto yang baru saja selesai cetak.

"Jonathan Aksara, Staf Kepresidenan," ucap si wanita yang juga berhenti di sebelah Gellar.

"Aku tahu siapa dia. Siapa ini?" Gellar kembali melontarkan pertanyaan yang sama, namun kali ini telunjuknya menyentuh seseorang.

Seseorang berdiri di foto tersebut. Meskipun fokus kameranya tertuju pada Jonathan Aksara, kamera tersebut juga menangkap seorang berkacamata hitam berjalan di belakangnya, sedikit tertutup oleh tubuh besar Jonathan.

Sarah mengambil lagi foto tersebut dari tangan Gellar. Melihat secara saksama ke arah seseorang tersebut.

"Oh, itu Randi Suryatama. Kamu tidak tahu?" jelasnya pada Gellar, lalu mengambalikan foto tersebut ke tangan si pria..

Gellar menggeleng, "Sejak kapan?"

"Sudah tiga hari ini dia bersama dengan Jonathan Aksara," Wanita itu menjawab santai.

"Jonathan Aksara terlibat juga?"

Sarah mengangkat bahu.

"Kapan foto ini diambil?"

KILOMETERWhere stories live. Discover now