Kilometer 9

58 13 1
                                    

Ruangan itu lengang, masing-masing individu di sana fokus pada monitor di hadapan mereka.

Titik-titik berkedip, menandakan posisi Gellar dan konvoinya sekarang. Rute yang diambil sesuai dengan yang sudah disepakati, dan mobil bergerak dengan kecepatan sedang.

Johan menolehkan pandangannya pada monitor di timur, tampak di sana tampilan udara dari titik-titik tadi. Tiga mobil berbaris, dengan sebuah mobil taktis antipeluru di tengah-tengah.

Sejauh ini semua normal. Johan tidak perlu khawatir karena rute ini sudah ditentukan oleh tim secara matang dan disetujui para petinggi sehari sebelumnya. Tidak mungkin operasi ini bisa bocor ke telinga orang lain.

Hingga,

BUM!

Suara itu terdengar lantang melalui speaker di sudut-sudut ruangan.

"Astaga!" Johan yang pertama bersuara.

Pria itu sontak menolehkan wajahnya ke monitor timur, melihat tampilan udara tentang apa yang baru saja terjadi. Tampak di sana api melalap mobil terdepan dan mobil taktis yang terbalik miring.

Tampilan itu lenyap. Berganti dengan layar hitam lengang yang memenuhi monitor.

"Apa yang terjadi?! Kembalikan tampilan tadi!" seru Johan pada bawahannya.

Lelaki di sudut sana gelagapan mencoba mengambalikan tayangan dari drone. Ia juga tidak tahu apa yang terjadi.

Sementara itu, Johan mengubah pandangannya ke monitor utama, tampak di sana titik-titik yang masih berkedip, menandakan bahwa mereka masih hidup.

"Tampilkan detailnya," perintah Johan.

Kali ini, seorang wanita berhijab yang mengutak-atik keyboard-nya.

Dalam sekejap, monitor empat puluh inci itu menampilkan identitas siapa saja pemilik titik-titik berkedip itu.

Detak jantung Gellar cenderung stabil, begitu pula Benggala dan Profesor. Namun berbeda dengan empat orang lainnya yang mengawal di mobil taktis, detak jantung mereka naik signifikan, menandakan kepanikan.

Detik selanjutnya, identitas salah satu dari pasukan bersenjata itu berubah menjadi abu gelap. Jantungnya berhenti bekerja.

Menyusul satu orang lagi.

Johan menarik napas dalam, mengatur emosinya.

Bertepatan dengan hal itu, seluruh monitor ruangan itu mati. Menyisakan kelengangan dan deru pendingin ruangan.

"Sialan!" murka Johan. APA YANG TERJADI? Seharusnya rencana ini berjalan lancar.

Maka, Johan memerintahkan untuk menyuarakan kode merah di Markas Besar Intelijen.

Suara nyaring menggema di lorong-lorong dan ruangan-ruangan Markas Besar Intelijen.

Pukul 12:15, Markas Besar Intelijen bergerak dalam kondisi waspada.

***

"Tidak, Gellar." Jawabmu. "Kau tidak akan ditangkap hanya karena hal ini."

Pria itu kembali menunduk, sepertinya kembali memikirkan apa yang harus dikeluarkannya.

"Untuk kasus yang kau contohkan tadi, aku punya jawabannya. Kasus C belum selesai, kita tidak tahu ia hilang ke mana, jangan berspekulasi dulu.

Kasus D, pelakunya sudah ditangkap—maksudku sudah ada yang harus bertanggung jawab.

Kasus A dan B, mereka melanggar undang-undang. Kau sendiri yang menyebutkannya barusan," paparmu.

"Mereka hanya bersuara, tidak melanggar undang-undang sama sekali. Di mana letak berita bohongnya? Di mana letak pencemaran nama baiknya?"

Astaga. Pria ini benar-benar keras kepala ya. Jelas-jelas mereka dituntut dengan pasal tersebut, berarti memang mereka melanggar.

"Mereka dituntut melanggar undang-undang itu Gellar, tentu mereka melanggarnya. Apa kau mau menyalahkan undang-undangnya?" pancingmu.

"Astaga, tidak! Undang-undangnya tidak salah sama sekali!" belanya.

"Lalu apa kau mau melanggar undang-undang itu juga, Gellar?" Kamu mulai panas. Tentu saja, kamu lebih tahu sebab pekerjaanmu berkaitan erat dengan hal-hal yang dikonfrontasi oleh pria ini.

Gellar menggeleng cepat. "Astaga tidak. Aku adalah warga negara yang taat. Aku punya kartu penduduk, aku punya surat izin mengemudi, aku juga rutin membayar pajak." Ia membela diri.

Kamu menghela napas, memilih mendengarkan saja sekali lagi. Kamu tidak bisa lepas kontrol, posisimu sekarang adalah psikolog, tugasmu mendengarkan saja. Jangan terbawa emosi hanya karena pekerjaanmu terlibat dengan konflik batin yang dihadapi orang itu.

"Tapi mereka, Pak, mereka yang ada di atas sana. Mereka yang kugaji dengan pajakku. Mereka yang merasa di atas langit itu. Mereka yang lupa bahwa rakyat lah yang membuat mereka duduk di singgasana emas berlapis berlian," ucapnya menggebu-gebu.

"Mereka yang membuatku sadar kalau aku hanya dibutuhkan lima tahu sekali. Astaga." Pria itu tertawa miris kali ini.

"Setelahnya tentu saja mereka bersenang-senang. Mempermainkan hukum seakan hukum bisa dibeli dengan uang dan dipermainkan seenaknya. Lupa kalau mereka harusnya mensejahterakan rakyat yang memberi kepercayaannya, bukan malah merusak."

Kamu angkat suara sekali lagi, "Apa maksudmu?"

"Maksudku adalah, mereka para tikus berdasi itu akan bertingkah seenaknya sendiri ketika berada di atas langit. Menjebak kami dengan undang-undang ketika kinerja mereka dikritik. Mereka, mafia hukum."

***

Adalah sebuah apartemen di daerah Pancoran tujuan mereka kali ini, apartemen yang dirombak sebagai rumah aman oleh Badan Intelijen.

Gellar mempunyai alasan tersendiri untuk mengamankan Profesor ke rumah aman, tak lain karena ia percaya Badan Intelijen sudah disusupi. Tak heran bukan? Penyerangan Benggala semalam hingga insiden bom kecil tadi.

Ia juga tidak akan mengabarkan apa-apa kepada siapa pun yang berada dalam naungan Badan Intelijen, biarlah semua masalah ini ia tangani sendirian, kecuali Johan. Ya, dia akan mengabarkan sahabatnya itu.

Gellar berjalan di belakang Profesor guna menyembunyikan borgol yang bertengger di pergelangan tangannya itu, sementara Benggala berjalan santai di depan sana.

Benggala berhenti berjalan, dia mendongak untuk melihat puncak gedung tinggi tempatnya menghadap. Kepalanya kemudian memutar ke arah Gellar yang ditanggapi dengan anggukan, menandakan bahwa gedung yang dilihatnya adalah benar.

Pria itu berjalan sebentar mengitari taman dan menaiki tiga anak tangga sebelum tangannya menggapai gagang pintu paling kanan, yang hampir sama sekali tidak terlihat oleh resepsionis di meja tengah. Benggala mendorong pintu kaca, hembusan dingin penyejuk ruangan seketika menerpa kulit.

Untungnya lagi, pintu paling kanan ini memang digunakan oleh orang-orang yang tinggal di sini karena akses yang lebih dekat ke lift.
Benggala menunggu Gellar di hadapan sebuah lift, karena Gellar yang tahu di mana letak apartemennya. Sedangkan ia hanya tahu letak gedungnya, sebab ia bertanya pada Gellar.

Pria itu baru saja melewati pintu yang ia lewati tadi. Masuk ke lift, Gellar menekan sebuah tombol bernomor di sana sebelum pintu lift tertutup dan membawa mereka naik dengan kecepatan konstan.
Lift berdenting dan pintunya terbuka. Kali ini, Gellar yang memimpin perjalanan mereka menuju salah satu pintu di sana. Gellar meletakkan sebuah kartu di gagang pintu tersebut.

Pintu berdenting pelan, memberikan akses masuk.
Benggala mendudukkan Profesor di sofa sebelum menjatuhkan diri di sebelahnya, dua hari ini masuk ke daftar 10 hari terberat dalam hidupnya. Sementara Gellar masih menyibak tirai jendela, membiarkan cahaya mentari menerangi ruangan mereka.

"Namamu benar-benar Benggala?" Profesor membuka pembicaraan.

Benggala mengangkat kepalanya dari sandaran, melihat Profesor sebentar sebelum mengangguk membenarkan, "Iya, Pak."

"Kau lahir dengan nama itu? Maksudku, itu nama aslimu?"

Benggala menggeleng pelan, "Bukan, Pak. Itu kode namaku."

Profesor mengangguk mengerti, ia juga punya nama panggilan yang diberikan oleh mahasiswa-mahasiswanya seperti Dosen Killer, Dosen Pelit Nilai, dan segala macamnya.

"Namaku Prima, kalau kau bertanya-tanya," lanjutnya singkat.

Benggala tampak bingung, "Prima?"

Profesor mengangguk, "Ya, Profesor Prima. Rekanku biasa memanggil Pak Prim." Saat ia menoleh pada Benggala, ia melihat kerutan bingung di dahinya. "Kenapa? Nama Prima tak cocok untukku?"

Benggala menggeleng, "Bukan, "Profesor" yang tidak cocok."

Benggala sudah membuang semua tata kramanya. Melihat dari fisik orang ini, kata Profesor yang paling tidak cocok tersemat di namanya.

Profesor memutar pandangannya, mencari keberadaan Gellar. "Di mana rekanmu?" tanyanya kepada Benggala sebab tidak melihat batang hidung Gellar.

Benggala menjawab acuh tak acuh, "Entahlah, kamar mandi?"

Profesor menerima jawaban itu kemudian meraih remote dan menyalakan televisi di depannya untuk mengisi kesunyian. Ia membiarkan Benggala kembali bersandar di sofa dan tidak mengganggunya.

***
tbc.

KILOMETERWhere stories live. Discover now