Kilometer 0

431 105 93
                                    

Gellar membalik halaman buku yang berada di hadapannya saat ini. Sambil menyesap kopi, ia menyerap berbagai makna yang ada dalam buku tersebut. Obrolan yang memenuhi langit-langit kafe tidak mampu mengalihkan konsentrasinya sedikit pun.

Pria itu meregangkan otot leher yang terasa kram akibat terus menunduk. Lagi, ia membalik halaman buku, belum kapok dengan apa yang terjadi dengan lehernya. Jika leher itu bisa bicara, pasti ia telah menyuruh Gellar berhenti sejak tadi. Dipijatnya pelan leher bagian belakang yang terasa kram, seakan membujuknya untuk mau bekerja sama.

Ayolah, cukup satu bab lagi.

Seakan memberontak, otot lehernya malah terasa semakin menyakitkan. Gellar menghela napas, kemudian menutup buku.

Dipandangnya sekitar, barulah ia sadar bahwa ia sudah duduk di sini cukup lama. Gellar mengalihkan pandangan ke seberang jendela, terlihat orang-orang yang mencoba berlindung dari air yang menyerang dari atas.

Hujan, wajar saja tempat ini ramai. Kafe di tempatnya sekarang memang bernuansa hangat dengan perabot kayu tersebar di segala penjuru ruangan. Gellar berdiri meninggalkan buku dan ponselnya di atas meja. Pria itu melangkah santai menuju meja pemesanan, hendak memesan roti lapis lagi mengingat perutnya yang sudah menagih sedari tadi.

Sebuah roti lapis tiba dihadapan Gellar dengan hangatnya, dan harum yang menggoda seluruh indera penciuman manusia. Gellar menerimanya sambil berucap terima kasih kepada pelayan yang mengambil tanda pesanan di meja.

Ia menggeser layar ponsel pelan, melihat berita yang sedang panas di Indonesia. Roti itu baru saja terangkat beberapa senti dari piringnya saat Gellar melihat sesuatu jatuh dari bagian bawah roti tersebut.

Sebuah benda. Lebih tepatnya, kertas yang dilipat empat kali.

Gellar melihat sekeliling, tampak tak ada yang memperhatikannya saat ini. Dengan kecurigaan penuh, diambilnya benda itu dan membukanya.

Deretan kombinasi huruf dan angka yang sudah ia hapal di luar kepala tertulis di kertas itu.

Pria itu beranjak dari tempat duduk, keluar menerobos hujan. Dan, meninggalkan roti lezat yang baru dipesannya beberapa saat lalu

Baru selangkah keluar dari pintu kafe, Gellar melihat seseorang menatapnya di halte seberang. Usia tiga puluhan, tinggi seratus enam puluh delapan, rambut hitam cepak, mengenakan pakaian serba hitam, bergaris muka tegas, dan segala sesuatu lainnya yang bisa langsung Gellar katakan ketika melihatnya.

Gellar merapatkan jaket, menjauh dari jarak pandangnya. Mencoba menghilang ditengah hujan Jakarta. Tentu saja ia bisa melawan pria tersebut, hanya saja ia tidak ingin. Ia tebak ada lebih banyak dari mereka dan itu bukanlah hal baik.

Tujuannya tentu saja bukan koordinat itu. Gellar tidak bodoh dengan membiarkan mereka mengikutinya. Ia berjalan menuju utara, melewati gang sempit dengan gelisah. Bukan tanpa tujuan, baginya melewati gang dan jalan tikus seperti ini bisa saja membingungkan mereka. Tapi sayangnya mereka mengetahui seluk beluk jalan ini sebaik Gellar.

Tapi, yang tidak mereka ketahui adalah Gellar mengetahui seluk beluk atap di sini lebih baik dari mereka.

Gellar berbelok tajam disebuah persimpangan sempit, setidaknya menahan mereka sebentar selagi ia memikirkan rencana sambil terus berjalan pelan di celah yang sempit itu.

"Ugh," Gellar mengeluh sebentar saat melewati gang sempit itu, tubuh besarnya kurang bisa diajak kerja sama untuk melewati celah antara dua rumah tersebut.

Dua belas meter dari sini sudah terlihat tempat pemberhentian pertama. Sebuah teras rumah dengan beberapa kursi. Gellar memaku pandangannya pada sebuah tangga yang dibuat vertikal naik sampai ke atap.

Ia lompati pagar setinggi lutut dan memosisikan dirinya dihadapan tangga tersebut sebelum mulai memanjat. Melihat orang-orang berpakaian hitam sudah berdiri di pangkal gang membuat adrenal Gellar berpacu cepat, menstimulasi otaknya agar jangan sampai tartangkap.

Orang-orang yang mengejarnya kelihatan kebingungan di sana sebelum akhirnya memutuskan mencari secara terpisah, dua orang berbelok tepat ke arah Gellar.

Mereka melewatinya. Ya, mereka. Ada total lima orang yang mengejarnya sampai ke sini, atau mungkin lebih banyak. Gellar menghela napasnya karena berhasil mencapai atap pada detik-detik terakhir sebelum mereka melihatnya.

Gellar terbaring lemas di atap sebuah rumah. Dadanya naik turun menghembus napas. Ia belum makan, roti yang tadi ia pesan pun belum sempat bersentuhan dengan bibirnya. Napasnya berat, dan pria itu memejamkan matanya untuk sedikit mengembalikan energi dibawah rintik hujan yang membasahi tubuhnya.

Mereka berbelok ke kanan di persimpangan selanjutnya. Gellar perlahan berdiri dan melangkah menuju sebuah pintu kecil yang terhubung dengan sebuah loteng di rumah itu. Pria itu lalu menuju pintu depan yang berkontak dengan jalan raya. Lalu masuk ke salah satu mobil SUV hitam yang terparkir rapi di depan pintu tempatnya keluar.

Ia mengubah tujuannya, menuju gedung paling rahasia di Indonesia.

***

"Tolong definisikan 'Demokrasi', Pak," ucapnya.

Kamu mendongak menatap pria di hadapanmu. Pria itu menjalin jemarinya di atas perut, raut wajahnya tampak berpikir, tatapannya kosong ke arah karpet sebelum mendongak menatapmu.

Kamu menjawab singkat pertanyaanya.

"Ah benar. Lalu apa di dalamnya termasuk hak berpendapat?" tanyanya yang kini menatap lurus. Kamu bisa melihat tatapannya nanar, ada sesuatu yang ia sembunyikan selama ini.

Kamu mengangguk, "tentu saja," jawabmu yakin. Tak terdengar sedikitpun keraguan dalam suara baritonmu.

Kamu paham dan mengerti sekali dengan konsep demokrasi karena kamu terlibat langsung di dalamnya. Sudah jadi makanan sehari hari istilahnya. Lalu, apa lagi yang kurang jelas?

"Demo dan segala macamnya adalah bentuk hak untuk berpendapat," lanjutmu. "Kuyakin kau sudah sering melihat demo, kan?"

Pria itu mengangguk. Tentu saja ia sering lihat, tidak mungkin belum pernah. Unjuk rasa terjadi di mana-mana, bohong sekali jika ia bilang tidak pernah melihat orang-orang berunjuk rasa.

"Apakah tidak mengherankan terlalu banyak demo di negara ini?" tanyanya lagi. Astaga, kamu mulai kehilangan kesabaranmu. Kamu yang harusnya menginterogasi pria ini, bukan malah ditanya-tanya soal pelajaran anak SMA.

"Tidak sama sekali," jawabmu. "Perbedaan pendapat terjadi di mana-mana, sangat wajar jika ada setuju dan yang tidak. Lagipula pengunjuk rasa juga mengerti kalau yang mereka lakukan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan un—"

"Dan untuk rakyat. Ya, aku mengerti," potongnya.

Hening sebentar, sebelum pria itu menatapmu tepat di netra.

"Rakyat yang mana?"

***

tbc.

KILOMETERWhere stories live. Discover now