PROLOG

431K 10.8K 160
                                    

PROLOG

Dina Anatasia memasuki bangunan megah bergaya minimalis sebuah hotel bintang lima. Senyum manis gadis muda bertubuh tinggi semampai menyambutnya.

"Selamat siang, Bu, ada yang bisa saya bantu?"

Keramahan si resepsionis mengurangi sedikit ketegangan Dina. "Saya Dina Anatasia. Saya ada janji wawancara untuk mengisi jabatan sekretaris CEO."

"Baik, Bu. Mohon menunggu sebentar, saya konfirmasi dulu."

Dina mengangguk samar. Si resepsionis berbicara sejenak di telepon, kemudian kembali tersenyum padanya.

"Bapak Steven baru bisa menemui Ibu sepuluh menit lagi, silakan menunggu di lobi."

Dina mengangguk dan tersenyum tipis menampilkan lesung pipinya yang menawan. Dengan perasaan gugup, ia duduk di salah satu sofa yang ada di lobi. Detik demi detik terasa bergulir lamban. Keringat dingin membuat kedua telapak tangannya kesat dan lembap. Akhirnya, tiba saatnya ia menemui orang yang akan mewawancarainya. Seorang staf hotel mengantarnya ke sebuah ruangan yang terletak di lantai tertinggi hotel bintang lima tersebut.

Menekan rasa gugupnya dalam-dalam, Dina masuk ke ruangan dengan jendela-jendela kaca yang membentang dari lantai hingga langit-langit, menampilkan pemandangan spektakuler kota Batam.

Ruangan itu luas. Ada minibar dan satu set sofa. Rak-rak dengan berkas-berkas kerja tersusun rapi tampak berjejer di dekat dinding di belakang sebuah meja kerja.

Tatapan Dina terpaku pada seseorang yang duduk di balik meja itu. Napasnya tersekat. Pria itu pria paling tampan yang pernah ia temui. Mata beriris cokelat keemasan Dina menyusuri rambut tebal nan gelap yang disisir maskulin, turun pada sepasang alis tebal nan rapi yang membingkai sepasang iris gelap, yang menatapnya lekat.

Dada Dina berdebar. Sesaat ia hanya diam terpaku menatap pria itu.

"Saya Dina Anatasia," ucap Dina pelan setelah bisa menguasai diri.

Pria itu mengangguk samar. "Silakan duduk, Nona."

Gugup dan tegang, Dina melangkah maju, lalu duduk di kursi yang ada di depan meja kerja pria tersebut. Matanya melirik papan nama meja bertuliskan "Steven Dirlando, CEO".

Dina menelan ludah. Ia tidak menyangka akan diwawancarai langsung oleh sang CEO. Namun mengingat posisi yang ditawarkan adalah sekretaris CEO, tentu saja sang CEO-lah yang akan mewawancarai langsung.

"Saya sudah mempelajari CV Anda."

Dina menatapnya, masih menunggu kalimat selanjutnya keluar dari bibir itu. Bibir merah kecokelatan yang mengundang khayalan erotis bermain di pikiran wanita mana pun yang memandangnya.

"Sekretaris saya dituntut loyal dan bekerja keras, apakah Anda mampu memenuhi kedua syarat itu, Nona? Jika mampu, Anda bisa mengisi posisi ini dengan masa percobaan tiga bulan."

Diam-diam Dina menghela napas lega. Ia tidak menyangka semudah ini diterima. Dina segera mengangguk karena sang CEO masih menunggu responsnya.

"Bagus, Anda bisa mulai bekerja besok."

***

Steven Dirlando tersenyum samar saat sosok calon sekretaris barunya hilang di balik pintu. Dadanya masih bergetar halus. Ia kembali menatap CV dan pas foto di atas mejanya.

Getar halus yang menyapa sejak pertama kali bertemu gadis itu masih setia menabuh dadanya. Steven tidak mengerti apa yang terjadi. Mata indah dan senyum berlesung pipi itu telah menyihirnya dengan spektakuler.

Dering ponsel membuyarkan lamunan Steven. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja.

"Ya, Ma?"

"Steve, bisa pulang sebentar? Ada tamu ingin Mama kenalkan padamu."

Steven menarik napas panjang. Pasti ibunya ingin menjodohkannya lagi. Akhir-akhir ini ibunya sibuk mencarikannya pendamping. Sudah berkali-kali ia menolak dengan berbagai alasan, tapi tetap saja sang ibu tidak peduli. Mungkin satu-satunya cara, ia harus mengenalkan kekasihnya pada ibunya. Akan tetapi kekasih dari mana? Sudah lima tahun ia sendiri.

"Steve?"

Suara panggilan sang ibu membuyarkan lamunan Steven. "Aku tidak bisa, Ma, sedang banyak pekerjaan."

"Tapi..."

"Ma, please... jangan comblangkan aku lagi," pinta Steven gusar.

"Umurmu sudah tiga puluh tiga tahun, Steve. Sampai kapan kau berniat melajang?" balas ibunya dengan suara meninggi.

Steven mengertakkan rahang. "Aku sudah punya kekasih, Ma."

"Oh ya? Kenapa Mama tidak tahu?"

Steven mendengus pelan.

"Segera kenalkan pada kami."

Steven menarik napas gusar. "Baik, Ma."

***

Bersambung...

yuks vote dan komen ya kawan2. makasi^^

love,

Evathink


Menjadi Kekasih Bos [tamat-part lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang