dua puluh.

1.5K 208 10
                                    

Kala Jeno berumur duapuluh, Renjun janji akan mengiyakan segala permintaan miliknya.

"Kita cuma terpaut sebulan, Ren. Kenapa aku harus memanggilmu kakak?" Seloroh Jeno saat pertama kali mereka bertemu, bahkan—Jeno pun saat itu tak yakin kalau Renjun itu lebih tua sebulan dari dirinya atau lebih tepatnya mereka seumuran.

Renjun itu cantik, konotasi itu bisa untuk siapa saja jadi ia yakin sekali jikalau Renjun itu bisa digambarkan dengan kata cantik. Cantik sekali, badannya juga ramping—terlebih lagi pinggangnya yang kecil, ia tak terlalu tinggi tetapi juga tak bisa disebut pendek untuk orang seumurannya. Suaranya lembut, apalagi kalau ia sengaja curi dengar lelaki itu bersenandung—manis; seperti permen kapas. Soal kepribadiannya, Renjun itu bisa menjadi kakak, adik, saudara, dan uhm—pendamping hidup.

Tapi Jeno tidak bohong! Dia berani bersumpah Renjun itu cocok sekali jadi pendamping hidup—apalagi pendamping hidupnya (hehe).

"Tapi tetap saja aku ini kakak!" Ujar Renjun kala itu sembari mendongak kearah Jeno yang masih lebih tinggi dari dirinya. Sebenarnya jika ada orang yang melihat perdebatan itu mungkin nampak lucu, bagaimana Renjun mendongak dengan wajah kesal dan meneriakan kalau dia itu kakak didepan Jeno yang cukup tinggi dan menunduk menatap Renjun sembari tertawa geli. Kalau Renjun boleh jujur kala itu—impresi pertamanya ke Lelaki Lee itu cuma satu; menyebalkan! Dia suka sekali mengejek soal tingginya, apalagi wajahnya saat mengolok itu—benar - benar membuat kesabarannya yang sumbunya pendek itu terbakar.

"Ya baiklah kakak kecil!"

"Lee Jeno kemari kau!"

Sejak pertemuan mereka di lorong apartemen 5 tahun yang lalu itu—entah kenapa Jeno dan dirinya menjadi dekat. Kalau peribahasa bilang, bagaikan lem dan kertas; merekat erat tanpa tahu melepas. Pergi ke sekolah yang sama lalu lulus dan menempuh kelas yang sama lagi—seperti takdir selalu berputar diantara mereka dan merekalah pemeran utamanya.

"Jeno!"

"Kenapa, cil?"

"Berhenti memanggilku seperti itu, jelek!" Seloroh Renjun sembari merengut, bibirnya yang maju beberapa senti itu membuat si Pemuda Lee gemas. Gemas sekali! Kalian bisa bayangkan seberapa sabar Jeno melihat lelaki itu cemberut dengan begitu lucu—nampak ingin sekali dicium.

"Kamu pernah tidak sih punya harapan saat ulang tahun?" Tanya Renjun sembari mengayunkan kakinya, mereka biasa menikmati suasana malam dengan duduk di taman belakang apartemen yang mereka tinggali. Hening... tetapi menyenangkan—letupan euforia itu begitu meriah di hatinya apalagi menghabiskan waktunya dengan Jeno.

"Tiba - tiba sekali?" Balas lelaki itu sembari tertawa—menampilkan bulan sabitnya. "Habis... lima tahun kita berteman sepertinya kamu tidak pernah mengharap sesuatu dariku. Padahal kamu selalu menawariku apasaja saat aku ulang tahun!" Jawab lelaki manis itu sembari memasukan keripik kentang yang mereka beli tadi kedalam mulutnya. Jeno tersenyum penuh arti menatapnya. Aku memang menahan permintaanku selama lima tahun ini, Ren.

"Memangnya kalau aku meminta sesuatu darimu kamu bakal belikan?" Kata Jeno sembari merebut keripik itu dari Renjun yang dibalas pukulan kencang pada lengannya yang membuat Pemuda Lee itu tertawa. Menjahili Pemuda Huang itu adalah daftar pertama dari hal - hal yang akan ia lakukan tiap harinya. "Tentu saja! Aku kan teman yang baik hati!"

Ouch. Lupa kalau masih teman.

"Baik hati? Darimana?" Ejek Jeno sembari menjulurkan lidahnya, yang membuat Renjun mendesis sembari memukul lengan lelaki itu lagi. Tidak sakit sih—karena Renjun juga hanya bercanda kalau memukul Jeno. Mana mungkin dia tega memukul seseorang kelewat serius, lelaki itu terlalu perasa.

telaga | noren Where stories live. Discover now