hancur.

2K 177 28
                                    

"Renjun... kau ranking dua lagi....,"

Bukan amukan kesal atau decakan kekalahan yang khas temannya itu lakukan bila Jaemin memberikan kabar ini, ia lelah, tentu saja. Lelaki berkacamata itu hanya menghela nafas kasar—sembari mengusap wajahnya yang nampak amburadul. Pandangannya ia arahkan kesekitarnya yang berbisik-bisik sembari menatapnya, Renjun sengaja tidak datang menengok mading hari ini, ia tak punya tenaga untuk meladeni ejekan Lee Jeno.

Iya, Lee Jeno, rivalnya sejak awal mula masuk sekolah.

Mulanya semua berjalan seperti apa yang ia inginkan, ia mendapat peringkat pertama dan Jeno kedua—terus begitu. Hingga pada suatu hari, Renjun mendapati dirinya berada di ranking dua. Sebenarnya  itu bukanlah hal yang benar-benar buruk, tetapi rasa malu, amukan orangtuanya, dan juga harga dirinya yang diinjak-injak adalah beberapa faktor bahwa ranking dua untuk dirinya adalah hal yang buruk.

"Sistem belajar yang ia lakukan seperti apa, sih?! Sepertinya ia bahkan tak pernah belajar." Kata Renjun kesal sembari meneguk minuman bersoda yang tadi Jaemin belikan—pemuda itu hanya menatap temannya yang nampak kacau itu. Jaemin tahu benar bagaimana temannya itu bersungguh-sungguh dalam belajar, dan Pemuda Na itu juga tau bagaimana amukan kedua orangtua Renjun kala mengetahui ia bukanlah peringkat pertama disekolah. Orangtua selalu memintal banyak harapan untuk anaknya tanpa mengetahui seberapa keras mereka berusaha untuk mencapainya. Mereka hanya memerlukan hasil dan itu cukup menyulitkan bagi anak-anak yang dimintai segala hal.

"Entahlah. Selama ini aku melihat postingan sosial medianya ia sibuk berkumpul dan balapan motor. Bagaimana bisa ia mendapat ranking satu berturut-turut?" Balas Jaemin sembari menatap mading—lelaki itu disana, mencuri pandang kearah meja dimana kedua sahabat itu duduk. Senyum culas terpatri diwajahnya namun Renjun tentu saja tak melihat hal itu, ia duduk membelakangi arah Jeno menatapnya. Jaemin hanya menatap orang itu tajam—jari tengah ia tunjukan pada sang Lee sebelum orang itu melenggang ke koridor. Demi Tuhan, Jaemin kesal sekali melihat wajahnya karena lelaki itu terus membuat sahabatnya tertekan.

------

"Perpustakaan?"

Jaemin menatap lelaki berkacamata itu dengan khawatir—Renjun tak nampak baik-baik saja sejak ujian akhir seminggu yang lalu itu. Kantung matanya nampak begitu jelas dilihat, rambut acak-acakan, dan ia sering melamun. Ia takut kalau sahabatnya itu memaksakan diri dan jatuh sakit—Renjun itu terlalu berambisi hingga kadang memaksa kinerja tubuhnya sendiri.

"Tak apa. Pulanglah duluan, Jaemin." Renjun tersenyum sembari menatap wajah khawatir Jaemin. Jujur saja, selain untuk belajar—itu akan menjadi alasan lain agar tidak bertemu dengan orangtuanya. Ia tak berani menatap wajah marah ayah dan ibunya ketika pulang nanti, ia bisa pulang malam nanti kala orangtuanya sudah tidur.

"Jangan paksakan dirimu, Renjun." Jaemin memegang pundak lelaki mungil itu, Renjun hanya tersenyum tipis sembari menganggukkan kepalanya. Jaemin dan dirinya sudah berteman sejak lama, lelaki itu tahu benar soal dirinya. "Hati-hati." Balas Renjun saat si Na melambaikan tangannya dan melenggang pergi. Renjun pun bergegas menuju perpustakaan sekolah yang memang dibuka hingga pukul sembilan malam.

Syukurlah perpustakaannya sepi. Renjun menghela nafasnya. Biasanya ada beberapa anak yang mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan—tetapi beruntung sekali dirinya, perpustakaan sedang sepi. Ia pun segera duduk dan mengeluarkan bukunya, ia berencana untuk merangkum dan mengerjakan soal-soal latihan hari ini.

"Oh, halo?" Sapaan itu mengalun bersamaan dengan kursi kosong yang ditarik di hadapan Renjun. Ia kenal benar suara ini, suara yang selalu membuatnya naik pitam—suara dari orang yang ia ingin hancurkan hingga berkeping-keping. Lelaki berkacamata itu mendongak, obisidan mereka berdua bertabrakan bersamaan dengan senyum mengejek milik Jeno. Jujur saja, Renjun tak menyadari kehadiran lelaki itu sebelumnya—mungkin karena ia terlalu fokus dengan pekerjaannya.

telaga | noren Where stories live. Discover now