kelopak.

2.9K 327 21
                                    

"Selamat pagi, Tuan. Ingin pesan apa?"

Percakapan semu itu selalu diawali dengan Renjun yang bertanya soal apa yang pembelinya inginkan. Meski si barista tak memungkiri—setiap detaknya berasa lebih cepat ketika menatap diam - diam dalam pahatan indah milik lelaki itu. Renjun tahu benar siapa pelanggan itu—Lee Jeno namanya. Seorang lelaki yang memiliki perusahaan dengan saham terbesar di kotanya, lelaki itu pasti selalu memesan kopi di pagi hari pada cafe tempat pemuda itu berkerja. Menyesapnya sembari membolak - balik lembaran koran dengan kacamata yang bertengger di wajahnya. He is too ethereal.

"Seperti biasanya, Renjun." Jawab si Lee sembari menatapnya dengan tatapan datar tanpa minat. Saking hafalnya lelaki itu pada si barista ia pun hanya perlu mengucap 'pesanan biasa' barista itu sudah paham apa yang si Lee pesan. Sepertinya lelaki itu sedang lelah karena si barista bisa melihat jelas kantung matanya yang semakin menghitam setiap harinya. Ia ingin sekali mengompres mata lelah yang kurang istirahat itu tetapi hei—ia ini siapanya?!

"A—ah baiklah," Renjun menuliskan pesanan lelaki itu pada nota kecilnya—lantas meminta uang dari pembelian minuman itu, ia sudah sering menatap Jeno tetapi entah kenapa rasanya jantungnya selalu berdetak lebih kencang setiap harinya! Ia tahu ini salah—Jeno itu memiliki kiani yang begitu terhormat sedang dirinya ini bukanlah apa - apa padahal mereka berada di tahun lahir yang sama, Lee Jeno itu seorang borjuis.

"Silahkan menunggu, Tuan." Balas Renjun sembari tersenyum ramah, Lelaki Lee itupun duduk ditempat yang biasa ia tempati. Renjun pun menuju dapur untuk meracik minuman yang Jeno pesan, tetapi tiba - tiba langkahnya terhenti—jantungnya bertalu begitu kuat. Nafasnya bak tercekik sulur—Renjun menarik fabrik yang melekat di dadanya kuat - kuat demi menyalurkan rasa sakitnya. Ah, sial. Aku kambuh—lagi.

Pemuda itu menarik langkah terpatah dengan tungkai melemas, rasanya seluruh persendiannya melemah begitu saja. Nafasnya tersendat - sendat dengan rancu—ia mencoba menenangkan diri ditengah sekaratnya keadaan raga. Renjun akhirnya berhasil mencapai toilet yang letaknya sedikit jauh dari dapur, ia menumpukan tangannya pada wastafel—kemudian ia terbatuk. Rasanya begitu mencekat dan melilit—ia merasa seluruh nyawanya tertarik keluar disertai tersengal janggal saat kelopak bunga bercampur dengan noktah merah keluar dari mulutnya. Ia menghela nafas sedikit lega—setidaknya hanya satu kelopak, ya untuk hari ini. Kemarin ia memuntahkan enam kelopak bunga dari mulutnya.

Hanahaki disease. Itu yang ia tahu dari nama penyakitnya—konyol memang. Ia mencintai salah satu pelanggannya sampai rasa cinta itu melilit jiwanya dan menumbuhkan bunga yang menusuk setiap jengkal paru - parunya. Mau bagaimana lagi, selain ia tak ingin menghilangkan perasaannya ini ia juga tak memiliki banyak uang untuk operasi. Biaya untuk mengangkat bunga yang akarnya menjerat erat di saluran pernapasan miliknya itu bukanlah masalah sepele. Renjun bukanlah borjuis dan ia juga sudah tak memiliki orangtua.

Tiba - tiba terdengar langkah cepat seseorang mendekat—Renjun yang sedang membasuh wajahnya terkejut melihat Donghyuck yang keadaannya kacau. Nafasnya begitu rancu dan keringat mengalir di pelipisnya—Renjun melihat sahabat sekaligus rekan kerjanya itu lantas menatapnya dengan tatapan bingung. "Huang Renjun! Kau kambuh?!" Tanya sahabatnya itu sembari menggoyangkan bahu si mungil dengan tatapan menunggu afirmasi. Renjun menghela nafasnya berat kemudian mengangguk tanda mengiyakan—mau menyembunyikan sebesar apapun Donghyuck pasti langsung mengerti kejanggalan yang Renjun sembunyikan. Renjun itu seperti buku terbuka; ia terlalu mudah dipahami.

"Renjun, kalau kau benar - benar tak kuat tolong jangan paksakan dirimu. Apalagi melayani Tuan Lee, aku tak ingin kau kenapa - kenapa..." Suara Donghyuck melirih di akhir kalimatnya. Renjun bisa merasakan perasaan khawatir tercetak jelas disetiap mimik wajah pemuda itu. Si Huang hanya tersenyum sembari mengangguk—ya meskipun ia takkan menuruti sahabatnya itu. Bagaimanapun juga ia perlu uang, kalau ia sering absen kerja bisa - bisa gajinya dipotong oleh pemilik cafe.

telaga | noren Where stories live. Discover now