di penghujung musim panas.

566 46 3
                                    

Di penghujung musim panas yang hangat, aku menunggumu di depan pintu penginapan.

Hari terus berlalu, tanggal juga silih berganti. Nyatanya, hangatnya musim panas seakan menyelinap lepas dari seluruh jariku, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.

Pagi itu, Bibi pemilik penginapan menatapku dengan heran. “Kamu tidak pergi, Renjun?” Perkataannya masih kudengar jelas di rungu. Aku menggeleng bingung, memangnya aku harus pergi kemana di hari yang panas seperti ini?

“Kudengar Jeno kembali, dia kekasihmu, ‘kan?”  Beliau bertanya, “Kau tidak menjemputnya di stasiun?”

Mataku membola mendengar namamu terdengar di rungu, bagaikan doa. “Kapan, Bi?”

Beliau sendiri juga nampak terkejut mendengarku bertanya. “Ia... tidak memberitahumu? Maafkan aku, sepertinya itu kejutan, deh.” Bibi menggaruk tengkuknya dengan kaku. Sementara aku kebingungan setengah mati. Biasanya, jikalau kamu pulang kamu selalu mengabariku. Namun, sudah hampir sebulan lebih kau pergi, tanpa meninggalkan sebuah pesan apapun dan menghilang begitu saja dari hadapanku.

Apa yang harus kulakukan?

Di penghujung musim panas yang hangat, kehangatan itu seolah menghilang dalam sekejap.

Aku melihatmu menyeret kopermu. Aku melihatmu berdiri di depan pagar sebelum Bibi pemilik penginapan tersenyum dan membuka pintu untukmu. Aku ingat jelas bagaimana hangatnya musim panas selama ini, namun semua terasa hilang ketika aku menatapmu.

Hampa. Dan kosong.

Aku jelas paham benar bagaimana bunga api yang biasanya bersinar terang di matamu ketika menatapku kini sirna. Seluruh hangat yang kau berikan berbeda. Begitupun bunga-bunga api yang biasanya menggelitik di dadaku, rasanya begitu kosong dan hampa ketika iris kita saling bertabrakan dengan hening yang mencekam.

Aku ingin bertanya, aku ingin menyampaikan seluruh hal yang mengendap di hatiku selama musim panas menyelinap lepas dari setiap ujung jariku. Kamu kemana? Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak pernah mengabariku maupun mengirim surat?

Namun, seluruh perkataan itu hanya tersangkut di ujung lidahku saja.

Dadaku tak lagi berdebar untuk sekedar melihat wajahmu. Semua terjadi begitu saja. Kau tersenyum menatapku, akupun juga. Kami bertingkah selayaknya dua orang asing yang baru bertemu pada hari itu juga, di penghujung musim panas yang hangatnya bahkan tak terasa.

Jeno. Aku ingin memanggil namamu saat itu juga. Napasku seakan tercekat oleh sesuatu yang kasat mata. Lee Jeno, tidakkah kau berhutang penjelasan padaku?

Kamu pergi setelah bertukar beberapa kata dengan Bibi, beliau menatap kami berdua aneh. Aku tahu, aku jelas tahu benar. Jikalau sebelumnya kami akan berpelukan sepanjang hari, kali ini kami berdua hanya saling menatap dalam diam yang mencekam. Atmosfer di antara kami nampak tak baik, dan Bibi tahu soalnya—beliau meninggalkanku setelah menepuk pundakku dengan pelan.

Aku tidak sepenuhnya mengerti.

Semua terjadi begitu saja.

Senyummu secerah mentari, menghalau mendung, dan juga—merundung perasaan yang perlahan layu di hatiku.

Aku berusaha membuka percakapan, tetapi kamu buru-buru pergi seolah aku mengusirmu. Kau pergi, dengan senyum yang kau simpan rapi dan juga jaket pemberianku dua tahun lalu. Aku tidak pernah mengerti kenapa kau bersikap begitu semenjak kepergianmu. Apa aku melakukan suatu kesalahan besar yang membuatmu tak lagi sudi berbicara padaku?

Musim panas berlalu tanpa mengucapkan selamat tinggal. Bunga-bunga perlahan mulai layu, seperti perasaanku yang terus menerus digerus waktu. Aku melihatmu sepulang bekerja dengan jaket cokelat dariku yang senada dengan daun-daun yang gugur.

“Jeno,” Aku bahkan tidak sadar, sejak kapan suaraku terdengar separau itu? “Apa aku... memiliki kesalahan padamu?”

Ia terhenyak dari tempatnya berpijak. Sementara aku diam saja, menunggu jawaban keluar dari mulutnya. Aku tidak tahan lagi. Apakah jikalau aku tak menanyainya ia akan terus berdiam diri dan menghindar begitu saja dariku? Betapa pengecutnya, tidak seperti Lee Jeno yang kukenal.

“Tidak, Renjun.” Ia menghela napasnya panjang. “Akulah yang memiliki kesalahan padamu.”

“Kesalahan macam apa yang membuatmu selalu menghindar dariku?! Apa kau tidak tahu betapa bingungnya aku selama sebulan ini?!” Aku merasakan air mata menumpuk di pelupukku, kau memalingkan wajah dariku. Rasanya menyedihkan. “Kumohon, katakan sesuatu! Tidakkah kau paham bahwa aku perlu penjelasan?!”

Kau menundukkan kepalamu. Napasku terengah-engah, amarah menguasai diriku. Jikalau tali penghubung di antara kami memang tidak bisa dikuatkan lagi, setidaknya jangan membuatku terombang-ambing di sini, Jeno. Kau tahu betapa hampanya hatiku sementara kau hanya berdiam diri di depanku?

“Maaf, aku..,” Aku bisa melihat ada air mata yang menetes, meluncur turun di pipimu. “Aku kehilangan makna dari cinta, Renjun. Kukira, jauh darimu membuatku sadar tentang hubungan kita. Nyatanya, tidak. Aku hanya merasa kosong, namun, bunga api di antara hatiku lenyap tanpa sisa.”

Air mataku meluncur turun. Pada akhirnya, itu adalah awal musim gugur yang menyedihkan. Aku terisak-isak di depan teras penginapan, Jeno memelukku, untuk yang terakhir kalinya. Ia memutuskan untuk pindah minggu depan, ia kemari hanya untuk memberitahu Bibi dan juga—aku.

Penghujung musim panas sudah berakhir, kehangatannya sama sekali tak terasa. Musim gugur datang dengan tiba-tiba, kemudian aku melepaskanmu.

Nyatanya, relung hatiku tetap saja kosong ketika kau melambaikan tangan padaku. Bulan sabit yang tenggelam di antara kedua matamu tidak lagi memberikan perasaan tenang seperti dulu lagi.

Sampai jumpa, musim panas yang hangatnya bahkan tak terasa. Dan juga, Lee Jeno.

-----

i kinda forgot how to write on this app again lmaooo 🧍 dateng-dateng membawa cerita angst, yasudahlah ya

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 18, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

telaga | noren Where stories live. Discover now