seratus.

5.7K 585 44
                                    

"Kau tahu—pembunuh berantai berinisial J itu kabur dari tahanan!"

Pembunuh berantai kabur.

Inisialnya J, bermarga Lee.

Pembunuh 50 orang secara mengenaskan.

Kabar itu tak pernah tak luput dari pendengaran Renjun. Ya Tuhan, bisa gila dirinya. Saat mendengar radio, mendengar gunjingan orang, menonton televisi, membaca koran, melihat sosial media—hanya ada kabar bagaimana si J itu kabur. Memang mengerikan, sih—bagaimana J itu membunuh korbannya. Kepalanya selalu terpenggal dengan inisial angka dan huruf J dari darah disana. Kabarnya, ia tak pandang bulu, kau mengganggu teritorinya, kau mati. Tak ada yang tahu seperti apa rupa J sesungguhnya—ia selalu menutupi wajahnya. Hanya Tuhan, orangtuanya yang sudah tiada, dan juga kepolisian yang tahu. Jikalau ia melepas penyamarannya, tak ada orang yang curiga jikalau itu si J yang ditakuti orang - orang.

"Renjun, kau mendengar berita si J itu?" Tanya Haechan sembari duduk di bangku sebelah Renjun, si Huang itu mengangguk malas. "Tentu saja! Itu tersebar dimana - mana—gila, aku sampai bosan." Celetuknya sembari memainkan pena di genggamannya. Satu sekolah hanya menggunjingkan si J yang memiliki nama depan Lee itu. Orang - orang hanya mengenalnya sebagai Lee J.

"Aku jadi takut pulang malam saat ini, rasanya seperti dihantui!" Lirih Haechan saat guru datang—Renjun memutar bola matanya malas, orang - orang terlalu hiperbolis. Hei, jikalau kita tak mengusiknya tentu saja ia takkan membunuh, bukan? Mereka terlalu berlebihan!

"Berlebihan," Celetuk Renjun sembari menatap malas guru yang bersiap berceloteh lebar. Atensinya tertuju pada Haechan yang juga menatap guru didepan dengan ogah - ogahan. Tetapi isi kepalanya berada di dimensi lain—kenapa ia terus - terusan terpikir dengan pembunuh berantai itu?

----

"Sampai jumpa, Renjun! Hati - hati!" Sapaan Haechan itu hanya menjadi angin lalu bagi Renjun. Ah, sudah pukul tujuh sekarang, ia harus segera pulang! Kegiatan ekskul membuatnya letih, terlebih lagi ia akan sendirian di rumah—orang tuanya sedang memiliki urusan di luar kota selama dua minggu. Ada atau tidaknya sama saja, mereka juga pulang saat Renjun tidur dan berangkat saat ia membuka mata.

Ia pun menunggu di halte—sendirian. Memang gila, tapi dirinya sudah terbiasa. Persetan dengan rasa takut, ia ingin segera tidur! Setelah bis datang—Renjun duduk. Ia mengalihkan atensinya, ada dua orang lain disana, seorang lelaki tua dan seorang pemuda—mungkin ia hanya lebih tua beberapa tahun dari dirinya? Rambutnya cokelat—tidak ada yang salah dari lelaki berkacamata dengan masker hitam itu, tetapi kenapa ia terus - terusan memandangi dirinya?!

Sialan, kapan bis ini sampai ke halte dekat rumahku?!
Lirih Renjun dalam hati. Pandangan lelaki itu sangat tajam—ia seolah ditelanjangi olehnya. Rasanya canggung sekali, untuk mengetik di ponsel saja rasanya gugup. Setelah waktu duapuluh menit yang sialnya terasa sangat lama—ia pun segera turun. Berlari secepat mungkin ke depan pintu rumah, ia menghela nafas lega, mengambil kunci rumah untuk membuka. Baru saja ia memegang kenop, tiba - tiba ada seseorang yang menutup mulutnya dari belakang.

"Hmmph!" Renjun menjerit—tentu saja, siapa yang tidak kaget mulutmu dibekap dari belakang? Orang itu menahannya, mendobrak pintu rumahnya dan memaksanya masuk. Renjun dihempaskan di lantai rumahnya lalu orang itu mengunci pintu dengan cekatan.

"Hei! Apa yang—," Orang itu menempelkan jari telunjuknya pada si Maret, menyuruhnya diam sebelum belah bibir itu melontar protes. "Sst—kid, be quiet, please?"

Geez, matilah aku! Jerit si Huang dalam hati, obisidan layaknya taburan bintang itu menatap lelaki aneh yang mengunci pergerakannya untuk meminta kemurahan hati. Sialan—siapa dia?

"Pernah mendengar si J, kid?" Ujarnya sembari menurunkan masker, seringainya nampak begitu mengerikan ditimpa cahaya rembulan yang menerobos. Renjun lantas mati kutu, tak ada yang tak tahu soal J, jangan bilang—

"Aku adalah J, J Lee, yang begitu marak kalian gunjingkan. Surprise, maybe?" Lelaki itu tertawa, mengeluarkan pisau lipat miliknya sembari menunjukkannya didepan yang lebih muda. Kilatannya bersinar dibalik gelapnya malam—Renjun bergidik ngeri menatapnya. "Kau tahu, aku selalu mencatat nama orang yang ingin kubunuh karena aku suka sekali menguntit," Ia memainkan benda keperakan itu, sementara Renjun sudah berkaca - kaca.

"—dan kau tahu, lembar ke seratus dan menjadi orang terakhir yang ingin kubunuh adalah dirimu, Huang Renjun." Tawanya merdu, tapi sialan, itu mengerikan, benar - benar mengerikan. Renjun menangis dalam diam—lelaki diatasnya membelai pipinya, "Kid, dont cry. Antrianmu masih panjang—masih ada 49 orang lagi." Ia tersenyum, mengoles mata pisau itu di pipi si Huang yang mulai sesenggukan. Si J mengoles air mata itu dengan mata pisaunya—kemudian menjilat pisau itu dengan sensual. "Terlalu asin. Apa kau benar ketakutan saat ini?"

Bedebah—kau menyuruhku tidak takut?! Renjun diam, lidahnya mendadak kelu. Tubuhnya gemetar dibalik kuncian pembunuh gila itu—apakah salahnya sampai ia ingin dibunuh?

"Woah kid—look at this pretty face, so beautiful but pathetic. Isn’t that looks cute on you?" J kembali tertawa, sementara Renjun tak mengerti apa yang diinginkan lelaki itu. Jikalau memang ia korban yang ke seratus—seharusnya—mengapa J menemuinya secepat ini?

"Oke. Baiklah, karena aku murah hati—bagaimana kita buat kesepakatan?" Tanya si J sembari mendekatkan wajahnya. Renjun bisa rasakan deru nafas beraroma maskulin menyapa penghidu dan permukaan kulit wajahnya. Tatapan tajam dengan nafsu membunuh itu begitu nampak di matanya—si Huang benar bisa mengintuisi bahwa itu adalah J—J Lee yang ditakuti orang - orang.

"Aku ingin membunuhmu karena kau merusak teritoriku—bukan di wilayah," Jemari panjang itu menggenggam tangan Renjun yang nampak kecil dan pas di genggamannya, ia menuntun jari itu kearah dadanya. "—tetapi disini." Renjun bisa rasakan aliran darahnya berdesir—ia benar - benar tidak bohong jikalau dirinya takut kala ia bisa rasakan detak si J yang begitu hebat. Keringat dingin mengucur dari dahinya, tubuhnya bergetar. Ia tak menyangka, teritori yang ia masuki lebih dari yang mereka maksud secara literal—ini menyangkut perasaan.

Jikalau jerat perasaan yang menghancurkannya, kenapa pula Renjun harus luruh?

"Jadi, karena kau sudah sejauh ini—bagaimana jikalau penawaranku jauh juga? Sebagai gantinya, aku takkan membunuhmu. Setelah empat puluh sembilan orang—aku akan menyerahkan diri ke polisi." Kesepakatan itu terdengar buruk di telinga surai hitam. Poninya disugar kebelakang oleh si Lee, tatapannya seolah terkunci pada obisidan si manis yang nampak seperti langit malam—tipuan indah yang menghancurkan akal sehatnya.

"Kau punya dua pilihan; menyuruhku pergi dengan tangan kosong—tetapi aku akan membunuhmu nanti saat korban sudah 99. Atau, kita bercinta, sekarang—hingga fajar menjemput. Sebagai gantinya, aku takkan membunuhmu, bagaimana?" Alis si J terangkat meminta jawaban yang mutlak—apa - apaan, bercinta dengan orang asing yang sialnya seorang pembunuh berantai penuh obsesi?! Itu terdengar—ugh, mengerikan! Bercinta hingga fajar—gila saja, apa ia bisa berjalan nanti?

Sialan, aku harus memilih yang mana?! Jerit nya putus asa dalam hati. Jikalau bisa ia berteriak minta tolong ia akan melakukannya. Masalahnya, J diatasnya, dengan memainkan mata pisau, ya—ia bisa teriak, namun saat warga datang nyawanya sudah hilang ditempat.

"Kid—opsi mana yang ingin kau pilih?" Tanya J sembari membelai pipi halus yang lebih muda. "A-aku memilih opsi dua—,"

-----

bakal ada part 2 nya tapi ak blom tau mau pub kapan💀
hsvdhshs aku bosen banget dirumah nolep:(

telaga | noren Where stories live. Discover now