pulang.

1K 87 23
                                    

[warning: mental health issues]

"Jeno, aku pulang!"

Hening.

"Jeno?"

Hanya ada cahaya redup yang menerangi kamar apartemen itu. Renjun ingat benar suaminya itu pulang pagi hari ini, tapi mengapa—kamarnya begitu sepi?

Renjun meletakkan belanjaannya di samping rak makanan, ia berencana untuk memasak sup kesukaan Jeno hari ini. Ia menyalakan lampu, menatap meja yang kosong. Biasanya, Jeno akan meninggalkan pesan bila pergi.

Memangnya pergi kemana dia?

Renjun menghela nafasnya, pekerjaannya terasa begitu berat hari ini. Biasanya Jeno akan menyambutnya, mengecupi dahi dan wajahnya, mengelus rambutnya, dan tersenyum padanya.

"Tidak apa sayangku, kau sudah melakukan hal yang terbaik hari ini." Biasanya—lelaki itu akan mengucapkan hal ini padanya, dengan senyum khas miliknya yang membuat matanya tenggelam.

Renjun diam-diam tersenyum sendiri mengingatnya. Tetapi, saat ini orang itu menghilang. Mungkin—ia sedang lembur. Renjun melirik ponselnya, kontak milik suaminya itu terakhir membaca pesannya jikalau Renjun akan pulang lebih awal hari ini. Tapi, tidak ada pesan bahwa lelaki itu mengabarinya pulang telat hari ini. Lelaki itu mengabaikannya, mungkin suaminya terlalu sibuk sampai-sampai tidak sempat mengabari dirinya. Tidak apa, ia percaya dengan lelaki itu.

Meskipun pernikahan mereka belum menyentuh angka dua tahun lamanya, tetapi Renjun tahu benar bagaimana lelaki itu. Ia adalah orang yang setia, dan Renjun jugalah mempercayainya untuk segala hal.

Sangat mempercayainya.

-----

"Jeno, kamu sudah pulang?"

Hari keempat setelah Jeno pergi dan tidak kembali, dan pintu apartemennya malam itu dibuka oleh seseorang.

"Sayang?" Ada suara wanita tua yang familiar di telinganya, Renjun bersorak, "Mama!"

Dengan segera ia memeluk wanita itu, sang Mama hanya tersenyum melihat putra semata wayangnya. "Sudah malam, Baobao sedang memasak apa?"

Renjun tersenyum, memperlihatkan makanan yang ia masak di kompor. "Sup tulang sapi! Aku lupa biasanya Jeno suka makan apa, jadi aku masak saja ini."

Mamanya menatapnya, Renjun melihat pandangan yang sulit dijabarkan dari wanita yang melahirkannya hampir dua puluh tujuh tahun yang lalu. "Memangnya Jeno belum kembali?"

"Belum. Aku lupa ia pergi sejak kapan... tapi ia pasti akan pulang nanti." Renjun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lelaki itu perlahan mulai kehilangan daya ingatnya—entah kenapa. Ia melupakan hal-hal kecil yang biasa ia lakukan, ia kadang lupa nomor unitnya, dan juga... ia lupa makanan kesukaan yang biasa ia makan bersama Jeno.

Semuanya perlahan terasa samar.

Sang Mama tersenyum, paras teduhnya menimbulkan perasaan yang entah melegakan di hati si Huang. "Kalau begitu, apakah Mama boleh mengicipi masakan Baobao?"
Renjun mengangguk cepat, mengambil piring dan juga peralatan makan lainnya, menarik kursi meja makan dengan segera. "Tentu saja, Ma! Kemari, kemari. Aku ingin tahu pendapat Mama setelah mencobanya."

Mamanya tertawa, duduk di kursi yang anaknya sediakan tadi. Menunggu sup yang asapnya masih mengepul hangat itu dihidangkan. Renjun merasa sangat senang melihat Mamanya mengicipi dengan senyum merekah, ia pun ikut memakan sup itu bersamanya—dalam hati berandai-andai. Andai saja Jeno di sini, ikut berbincang dengan mereka berdua, dan mengobrol sembari memakan masakannya. Seperti dulu.

telaga | noren Where stories live. Discover now