harapan yang surut.

814 89 6
                                    

[ tw : bullying, suicidal thoughts, ambiguous relationship. ]

"Dasar tolol!" Tendangan kembali dilontarkan pada pemuda yang sudah terjerembab sedari-tadi. Lelaki itu diam saja, sementara orang-orang disekitarnya terus merundungnya tanpa henti.

"Kenapa mengerjakan begini saja tidak becus, sih?!" Salah satunya memberikan tinju. Pemuda yang terduduk di lantai dengan luka-luka itu tetap diam. Bukannya ia tidak ingin melawan, tetapi ia tidak bisa melawan. Lima lawan satu, bukannya itu mustahil?

Pemuda itu merasakan telinganya berdengung beserta dengan pandangannya yang berkunang-kunang setelah mengalami semua siksaan itu. Salah satu dari pemuda yang merundungnya berjongkok—menyamakan jarak pandangnya dengan yang barusan mereka hajar sampai hampir mati itu. "Dengar, ya, Huang Renjun. Kalau sampai guru memergoki kami memintamu untuk menuliskan jawaban kami, maka jangan harap kamu lolos saat itu juga!"

Setelahnya, kelima orang-orang itu pun pergi. Renjun—pemuda yang baru saja dihajar ramai-ramai itu—menghela nafasnya dengan rasa lega dan penuh kesakitan. Ia merintih saat menggerakkan tubuhnya, rasanya sakit bukan main. Semenjak dirinya menginjakkan kaki pada sekolah menengah atas, entah mengapa ia menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya hanya karena tubuhnya yang lebih kecil dan wajahnya yang manis.

Andai saja... andai saja semuanya tidak begini.

Renjun berusaha sekuat tenaga bangun dari duduknya. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, terutama di bagian perut yang ditendang. Semua ini menyiksa batinnya, ia tak punya siapapun yang membantunya untuk keluar dari lingkaran setan tak berujung ini.

Orang (yang sebelumnya) waras mana yang ingin terus-menerus dibully seumur hidupnya?

Renjun berjalan terseok-seok menuju rumahnya—berharap Ibunya belum pulang ke rumah karena ia tak ingin beliau tahu soal luka-luka di tubuhnya.

Ada kalanya ia ingin mengakhiri semua ini. Mengikuti langkah Ayahnya, pergi dari dunia ini. Menghilang selamanya, bersamaan dengan segala luka-luka yang ia miliki. Namun, lelaki itu masih teringat dengan Ibunya. Apa yang akan terjadi jikalau ia meninggalkan Ibunya sendirian tanpa siapapun lagi di sisinya?

Renjun lelah. Seluruh harapannya selalu surut setiap harinya. Ia hanya ingin bebas dan bahagia. Itu saja.

-----

"Aku pulang!"

Renjun membuka pintu. Rumah itu masih sepi, Ibunya belum pulang. Di rumah sepi peninggalan mendiang Ayahnya itu mereka berdua tinggal—karena Renjun adalah seorang anak tunggal. Ibunya bekerja dari pagi sampai malam-malam sekali, tidak memiliki banyak waktu untuk ada di rumah itu menemani sepi yang mencekam.

Syukurlah. Renjun merasakan beberapa beban kasatmata di pundaknya berkurang. Ia segera masuk ke kamarnya dan mandi. Saat membuka bajunya, pemuda itu sedikit terkejut melihat bekas lebam di perutnya. Itu nyaris menghitam, pantas saja. Untuk bergerak sedikit saja, rasanya Renjun hampir mati. Tendangan yang diberikan tadi tidaklah main-main, ia hanya berharap semoga organ dalamnya tidak ada yang terpengaruh karenanya.

Selesai mandi, ia langsung bergegas mengecek ponselnya—memastikan tidak ada hal yang benar-benar penting sebelum berjalan menuju meja belajarnya, berniat untuk belajar.

Renjun mengambil bukunya sembari memperhatikan sosial media. Ia butuh hiburan di tengah kehidupan nelangsanya. Saat mengambil buku—entah secara tidak sengaja tiba-tiba ada satu buku yang entah darimana terjatuh dan mengenai kakinya.

Bruk!

"Argh!" Renjun menjerit. Buku itu cukup tebal, covernya berwarna hitam gelap tanpa tulisan apapun di depannya yang menandai apa isinya. Pemuda Huang itu mengernyit saat melihatnya, memangnya aku pernah punya buku tebal seperti ini?

telaga | noren Where stories live. Discover now