Part 28 ~ Penjelasannya

798 56 0
                                    

Kamu mungkin akan sukar untuk percaya, tetapi yang kuucap adalah kenyataannya

🐧

Entah rayuan macam apa yang dikeluarkan saat bicara dengan bapak tempo hari lalu hingga membuat bapak mempercayakan putri satu-satunya pada manusia yang kini berdiri di ambang pintu. Kalau sudah begini, mana bisa aku menghindar lagi. Aku sudah tidak bisa menolak jika bapak sudah secara langsung mengundang mas Lintang ke sini—menjemputku. Akan sangat memalukan jika aku lancang menolak, sama saja mempermalukan bapak.

Benar, kami sudah membicarakan hal ini kemarin sampai ada acara tangis-menangis. Tetapi, bukankah ini terlalu cepat? Maksudnya, baiklah mari kita coba memaafkan dia, namun bukankah bapak harusnya memberiku waktu untuk bernapas.

Pendeknya, dalam tingkatan rasa ikhlas memaafkan, aku belum sampai di level itu. Aku masih ada di level niat—masih setengah niat sebetulnya.

Dia terlihat menyebalkan dengan menyuguhkan senyum tertampan yang ia punya saat meminta izin bapak untuk membawaku sebentar. Lantas mencium tangan bapak, layaknya sudah menjadi menantu paling berbakti di dunia. Itu semakin terlihat sialan manis saat bapak seakan sudah mempercayakan diriku dengan mengusap kepala mas Lintang.

“Tolong pulangnya jangan malam-malam, ya,” pesan bapak dan mendapat anggukan dari mas Lintang.

“Insyaallah, bapak. Asalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Membayangkan jika saja masalahku dan mas Lintang tidak serunyam ini, pasti aku akan ikut tersenyum melihat reaksi keduanya, benar-benar cerminan hubungan calon menantu dan calon mertua yang harmonis. Sayangnya, faktanya kini membuat aku canggung sendiri. Tengkukku kerap gatal tanpa alasan.

Aku semakin tidak karuan saat ditatap seperti itu. Dia tersenyum samar padaku sebelum berlari duluan ke arah mobil hitam mengkilat yang terparkir manis di samping pagar.

“Ojo cemberut terus.” bapak mengelus pelan kepalaku.

Inggih, pak. Assalamu’alaikum.” pamitku.

“Wa’alaikumussalam.”

Berat hati aku meninggalkan teras rumah menuju mobil mas Lintang. Dia tahu betul bagaimana cara memperlakukan perempuan. Senyuman setia menghiasi wajahnya saat tangannya menahan pintu belakang mobil sebagai aksesku masuk. Tipikal pria gentle memang. Dan … ah, cukup! Kurasa aku sudah terlalu banyak memujinya sejauh ini. Tolonglah, aku tidak ingin menyerah dengan mudah.

Bisa aku lihat banyak pengunjung toko bapak semakin tertarik pada eksistensi kami, atau mungkin hanya pada mas Lintang. Dia memang terlihat tampan dengan kemeja biru dan celana panjangnya, serta mobil hitamnya memantulkan cahaya matahari membuat silau semua orang sehingga ingin mengetahui siapa pemilik benda yang menyakiti penglihatan mereka. Percayalah, dia sedikit berengsek.

Tidak ingin semakin malu, cepat-cepat aku masuk ke mobil dan menutup pintunya sendiri tanpa menunggu mas Lintang melakukannya, membuatnya sedikit terhuyung.

Akhirnya kami benar-benar selamat dari perhatian orang setelah kendaraan roda empat ini meninggalkan rumah bapak. Kini hanya kami berdua.

Meski tanpa obrolan, aku bisa melihat orang di depan yang sedang menyetir ini berkali-kali hendak membuka mulutnya untuk memulai suatu percakapan, dan kembali tertutup saat keraguan menyerangnya. Sementara aku pura-pura tidak perduli. Mataku terlalu sibuk mengamati jalan raya dari pada terus mengamati lisannya yang terbuka dan tertutup lagi.

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang