Part 11 ~ Jadi Kamu Maunya Apa?

633 72 2
                                    

Tolong jangan memaksa. Mungkin dia sejenis orang yang tak fasih dalam urusan pegakuan rasa

Ini seperti peribahasa pucuk dicinta ulam tiba. Semesta sedang mendukung rencanaku bertemu mas Lintang. Bahkan sebelum aku meminta, mas Lintang sudah mengirim pesan beserta lokasi di mana dia berada.

Tadinya aku masih menimbang perkataan mbak Lisa soal kelaziman perempuan menyatakan perasaan, tetapi jika sudah diberi pintu lebar-lebar seperti ini siapa yang akan melewatkan?

Batinku tersenyum malu. Oh tidak, apakah ini tandanya kami berjo ... ah, aku sungkan melanjutkan.

Kami bertemu setelah isya'. Dia juga berpesan agar menunaikan kewajiban terlebih dahulu, agar tidak terangan oleh sesuatu nantinya. Pokoknya biar ngobrolnya enak. Aku tidak bisa menolak, karena memang benar adanya.

Walaupun dari awal sudah mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi, namun rasa gugup tidak bisa dihindari. Cemas dengan apa yang bahkan belum terjadi. Rangkaian kalimat yang sudah disusun takutnya justru yang ada malah lidah kelu sendiri. Karena itu, aku nemilih memesan taksi dari pada menimbulkan kekacauan jalan raya akibat perasaan meluap yang ada hati.

Dan aku sudah tidak bisa mundur kala mobil yang kutumpangi sudah berhenti di tujuan. Dari sini saja aku sudah bisa melihat mas Lintang tengah duduk dengan posisi lurus--tidak santai sama sekali. Dia seperti ... tegang.

Aku mohon jangan berpikir dulu jika maksud ketegangannya itu karena hal yang serupa denganku.

Aku menelan ludah pada setiap langkah. Karena semakin banyak langkahku, maka semakin dekat pula aku dengan dirinya. Sampai aku menahan napas saat tiba tepat di depannya. Ya Allah, kenapa cepat sekali? Aku pikir jarak parkiran hingga di sini lebih dari panjang lapangan voli.

"Assalamu'alaikum," aku menyengir kikuk karena mas Lintang menyadari kedatanganku. Dia sempat melotot kaget.

Tetapi dia tetap tersenyum, "Wa'alaikumussalam."

Perlahan, kutarik kursi agar tidak menimbulkan suara sedikit pun. Sepinya kafe membuat suara sekecil apapun terdengar jelas. Aku tidak mengerti, kenapa dia memilih tempat seperti ini alih-alih di tempat ramai--bebas kecanggungan seperti biasa?

Ini memicu pikiran buruk. Dia seperti bukan mas Lintang. Apakah yang hadir sekarang adalah kembarannya?

"Kamu mau pesan dulu?" aku bisa melihat kegugupan dibalik akting santainya.

"Udah malam juga, nanti kalau minum kopi malah ndak bisa tidur," oh, candaan yang garing.

Dia mengangguk. Kemudian keheningan datang sebab diantara kami tidak ada yang memulai pembicaraan. Mas Lintang sibuk dengan aktivitas tak jelasnya, mengetuk-ketuk meja dan mengelilingi area kafe dengan matanya, sementara aku sibuk memerhatikan sikap anehnya.

Ini sama sekali tidak menyenangkan. Membuatku mual, ingin segera keluar dari lubang kesenyapan.

"Aku mau ngomong-"

Kami saling membuang pandangan--salah tingkah kala menyadari kami berucap bersamaan. Tetapi mas Lintang segera memutusnya dengan tawa pelan.

"Ladies first,"

Sebenarnya ini adalah sikap gantleman yang sangat disukai banyak perempuan. Tetapi pada kasusku kali ini, aku merasa tidak senang sebab otomatis aku yang pertama mengungkap.

Demi Tuhan, ini sebenarnya adalah pekerjaan kaum lelaki!

Aku kenyang dengan ludahku sendiri. Perut seperti melilit, ditambah menahan sendawa demi kelancaran kalimat.

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang