Part 1 ~ Siapa Sangka?

2.4K 192 8
                                    

Apakah ini cinta? Entah kau sengaja atau aku yang memang gila?

Katanya jika kita berteman dengan penjual minyak wangi, maka kita akan tertular harumnya. Itu sebabnya aku memulai bisnis ini.

Bukan itu juga sih alasan sesungguhnya.

Sebenarnya aku hanya seorang sarjana kimia yang tersesat dan bingung mencari pekerjaan. Kalau melamar di laboratium, takut ditolak.

Sungguh, bukan karena aku memiliki pengalaman buruk soal tolak menolak. Itu sudah jelas.

Masalahnya aku tidak sepintar yang orang bayangkan dan tak secemerlang deterjen anti noda. Yah, aku pas-pasan.

Tapi aku suka hal-hal yang berbau harum, misalnya bunga, parfum, dan uang. Dan ya, bakat berdagang dari ayahku juga ikut andil. Mungkin itu alasan yang tepat untuk melatar belakangi pekerjaanku saat ini. Sederhananya-pebisnis lilin aroma terapi online berpenghasilan eum ... lumayan lah untuk bertahan hidup di ibu kota yang terkenal dengan barang-barang seharga jimat.

Dibantu dengan dua teman-yang sebenarnya adalah senior waktu kuliah-aku membesarkan nama Candle World. Aku, Sekar, bagian pemasaran dan admin medsos, mbak Karin bagian keuangan, dan mbak Lisa Blackpink a.k.a. bagian produksi. Ada beberpa karyawan rajin lain yang membantu mbak Lisa juga. Alhamdulillah, sedikit mengurangi masalah negara soal pengangguran.

Sesuai dengan tugasku, aku hanya bersibobok dengan laptop dan alat komunikasi yang tak boleh lepas dariku, apalagi musim hajatan sekarang ini. Belakangan, kami sangat sibuk sehingga aku harus mendobel pekerjaan.

"Oke, kak. Barangnya insyaallah ready minggu depan, kok," kataku ala-ala mbak-mbak olshop.

"Iya kak, waalaikumussalam. Aduh!" ponselku terjatuh dari himpitan telinga dan pundak. Aku sebal sekali, banyak telepon masuk sementara tanganku sibuk mengepak barang beraroma mawar dengan bentuk serupa.

Mataku beralih pada wanita berhijab biru yang sibuk dengan kalkulator beserta gepokan kertas berharga warna merah bergambar Bapak Proklamator.

"Mbak Karin, bantuin Sekar dulu, ya?" wajahku memelas. "Aku susah terima telepon kalo gini," lanjutku menunjukkan tangan penuh isolasi.

Dia melepas kacamata bacanya. Kantung matanya menghitam, seperti kurang tidur. Well, memang mbak Karin memiliki kualitas tidur yang buruk sejak anak pertamanya lahir. Ckck kasihan juga.

"Loudspeaker kan bisa?"

Aku meringis. Duh! Begonya sampai ke dengkul!

"Ya, iya sih, tapi-" protesku terhenti saat kami mendengar suara tangisan bayi dari dalam kamar apartemenku. Ughh ... kencang sekali. Semoga ompol keponakan cantikku itu tidak sampai merembes di kasur lagi.

"Ya Allah...." mbak Karin mendesah, memijit pangkal hidungnya. Terlihat sekali jika ibu muda ini sedang kelelahan plus banyak pikiran.

Hasilnya aku bungkam, tidak ingin menambah rengekan di telinganya, menatap kepergian mbak Karin dengan mimik mendrama-jangan tinggalkan aku. Aku mendengus sebal, bingung juga, kenapa mbak Karin masih mau pusing mikirin keuangan Candle World padahal suaminya udah sugih buanget.

Sisi sinisku tersentil.

Lah, kalo dia berhenti siapa yang ngurus keuangan?! Sadar! Tanganmu cuma dua, otakmu cuma separo!

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang