Part 14 ~ Ambrol

604 70 4
                                    


Bukan hanya ambyar, tetapi juga ambrol

"Nggak perlu buru-buru. kamu bisa tenangin diri dulu,"

Mas Lintang berujar mencoba menenangkan. Mungkin dia mengerti penyebab aku tidak kunjung turun dari mobilnya.

Kedua tanganku saling remas cemas. Semakin tidak nyaman karena jantung yang sudah berpacu kencang. Menatap tak tega mas Davin dari mobil. Dia masih belum menyadari keberadaanku.

Sementara mas Lintang menggaruk kepala salah tingkah, "maaf, Kar. Aku cuma bisa nenangin lewat kata-kata."

Dalam situasi seperti ini, biasanya perempuan sangat butuh ketenangan dari pelukan seorang laki-laki. Selalunya aku meminta itu dari ayah, namun apa daya, ayah sedang tidak ada di sini.

Ayolah, Sekar! Kamu sudah berpengalaman soal memutuskan pria. Mana keberanianmu seperti saat meminta putus dengan Rihan dan yang lain?!

Oke, slow. Tenang. Kuasai diri.

"Ndak apa, mas. Aku turun,"

Sebelum pintu benar-benar terbuka, mas Lintang menahannya, "kalau kamu butuh bantuan, aku di sini," ucapnya yang kubalas senyuman.

Selanjutnya aku sudah benar-benar keluar dari mobil. Berhenti sebentar sembari meneliti tempat bersejarahku dengan mas Davin.

Aku tidak mengerti kenapa mas Davin memilih tempat waktu kita pertama jadian. Tempat ini sangat tidak strategis untuk sebuah salam perpisahan. Terlalu banyak orang. Tentu saja, walaupun di sini bukan area kampus, namun banyak mahasiswa berseliweran. Aku takut dia malu.

Tetapi, ya sudahlah. Hitung-hitung aku menuruti permintaan terakhirnya.
Aku terperangah saat membuka pintu, membuat lonceng di atasnya berdenting. Otomatis fokus semua pengunjung beralih padaku, tak terkecuali mas Davin. Dia langsung berdiri menunjukkan eksistensinya.

Seketika aku mendengar beberapa desahan kecewa dari beberapa gadis.

"Ah ... tuh bule udah punya pacar,"

"Gue baru tahu bule pacaran sama hijabers,"

"Iya, tapi dia cantik luar dalam. Gak kayak elo, burik sampai ke akar-akar,"

Hem ... terima kasih atas pujiannya, semoga tidak berubah menjadi cacian setelah melihat apa yang terjadi nanti.

Aku pikir, dari pada menjadi patung gila di sini, lebih baik aku segera menghampiri mas Davin. Setiap langkah selalu terucap bismillah tiada putusnya. Sama seperti mas Lintang, mas Davin juga terlihat sangat rapi layaknya bos perkantoran. Memang kenyataannya dia adalah seorang bos.

"Assalamu'alaikum, mas,"

"Wa'alaikumussalam, duduk," jawabnya entah kenapa menurutku terlewat ramah. Membikin para gadis tadi mendesah baper.

Aku meringis, kenapa netizen selalu gemar mencampuri urusan orang lain?!

Gugup, aku mengambil duduk. Menghela napas, berusaha setenang mungkin.

"Kar? Kamu sakit?"

Sial, gelagat anehku memang tidak bisa disembunyikan.

"Ndak kok, sehat aja,"

Laki-laki di depanku kini hanya mengangguk. Tunggu, dia perhatian padaku?

"Gimana kabar kamu?" tanyanya lagi. Sedikit terkejut, karena dia yang bertanya terlebih dahulu.

"Yah ... baik, selalu baik. Mas sendiri?"
Dengan senyumnya, dia mengangguk, "lebih dari baik setelah kamu mau bicara sama aku,"

Hah? Apa katanya? Kapan aku pernah menolaknya, sedang dia saja tidak pernah sekalipun berusaha mengajak bicara?

Awry [Lengkap]✔️Where stories live. Discover now