Part 3 ~ Oh, Jadi Ini yang Namanya Kencan?!

1.3K 125 1
                                    

Satu-satunya yang membuatku ragu adalah ketidakpastian darimu


Menurut kalian hal apa yang lebih membahagiakan saat diterpa sibuknya pekerjaan?

Makan-makan?

Gajian?

Atau ketemu pacar?

Yes, kalau aku memilih opsi yang terakhir.

Saat masih kuliah-abege tepatnya, aku sangat senang menerima notif: 'Ayok makan nanti malam' dari mas Davin. Walaupun bayarnya masih sendiri-sendiri, hal tersebut masih terbilang kenikmatan yang hakiki. Serasa surga dunia walau hanya makan di warung soto pinggir jalan.

Eitss ... itu dulu ya.

Sayangnya seiring dengan bertambahnya usia dan lamanya hubungan, setiap pertemuan jadi terasa hambar. Aku tidak merasakan lagi bagaimana kupu-kupu berterbangan di dada saat menerima teleponnya, seperti tadi pagi. Aku sudah berusaha menanamkan mood bahagia saat ini, menggumamkan dalam hati betapa spesialnya ajakan mas Davin.

Udah sebulan ndak ketemu, ceria dikit napa sih!

Dan itu susah.

Setelah lulus kuliah, ia mulai merintis usaha di bidang kuliner. Restoran kecil-kecilan katanya, yang siapa sangka kini sudah bercabang dan beranak pinak hampir di seluruh Indonesia.

Karena usaha yang katanya 'kecil-kecilan' inilah yang membuat mas Davin jarang berada di ibu kota. Kami jarang memiliki waktu untuk sekedar bercanda ataupun berdiskusi. Halah, jangankan berdiskusi, lha wong dia irit ngomong sekali.

Sudahlah, tidak akan ada habisnya membicarakan betapa tidak jelasnya hubungan kami. Sekarang lebih baik fokus mencari dimana mas Davin itu menungguku.

Apa ada yang bertanya-tanya kenapa mas Davin tidak menjemputku? Haha, memang dari dulu aku tidak pernah merasakan bagaimana sensasi dibonceng olehnya saat dia masih mengendarai motor antiknya, atau bagaimana empuk jok mobil mewah miliknya saat ini. Alasannya?

'Nanti, kalau kamu sudah jadi milikku sepenuhnya, kamu bebas mau naik kendaraanku yang mana saja.'

Sudah kubilang kan dia termasuk orang yang mengerti ilmu agama?

Jadi aku harus rela berpanas-panasan mengendarai motor matic abu-abuku sambil mencari di mana batang hidung sialan mancung mas Davin itu. Ia sudah mengirim gambar posisinya tadi. Di sekitar parkiran taman, bawah pohon beringin.
Menoleh kanan-kiri seperti orang hilang, hingga mataku dibuat silau dengan kinclongnya mobil hitam disandari oleh pemuda mirip bule tepat di bawah pohon beringin.

Tin ... tin ....

Aku sengaja membunyikan klakson tepat di depannya. Membuatnya berjengit dan mengurut dada. Haha, aku suka ekspresinya.

"Halooo ... mas Davin!" sapaku- masih berusaha menaikkan mood sebenarnya.

Ia menghela napas dan tersenyum, "waalaikumussalam."

"Udah lama?" aku bertanya sembari memarkirkan kendaraan dan melepas helm, lalu berputar ke arahnya.

"Nggak juga. Lima belas menit." tangannya mengibas kegerahan.

Aku menelisik penampilannya. Rambut disisir rapi, kemeja maroon, dan celana panjang hitam membuatku kembali berpikir pada pakaian yang kukenakan. Jeans dan kaos oblong, rambut acak-acakan karena tempaan helm. Jelas tanpa persiapan riasan cantik.

"Kita sebenarnya mau ke mana sih, mas?" tanyaku sedikit tak enak. Tahu lah ya ... bagaiamana malunya perempuan bila salah kostum.

"Ayo!" mas Davin malah langsung mendahului. Tanpa repot-repot menimpali pertanyaanku. Ya Tuhan....

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang