Part 10 ~ Lampu Hijau

659 68 0
                                    

Perjuangin kamu kayak makan cabe. Ada pedesnya, tapi bikin nagih

Bisa ditebak jika belajar hidup mandiri berarti melakukan semuanya sendiri. Namun, pada tarafku sudah berbeda. Tentu saja. Aku melakukan semua bentuk kegiatan dalam ruang lingkup mandiri itu sudah bertahun lamanya. Sejak sah menjadi mahasiswa. Sedikit menyulitkan memang pada bulan-bulan pertama. Bahkan aku masih ingat waktu aku menangis sendiri di apartemen karena tidak bisa mencuci wajan gosong akibat ulahku sendiri. Wajar saja, aku tidak pernah menjamah dapur ataupun pekerjaan rumah tangga lain kala aku masih hidup bersama orang tua. Sempat berpikir aku tidak bisa bertahan, bahkan barang setahun saja. Tetapi siapa sangaka, malah jadi keterusan.

Aku berjinjit berusaha menyampirkan baju terakhir. Yah ... aku habis mencuci tadi. Dan percaya atau tidak, melihat cucian yang sudah menjadi jemuran itu rasanya sesuatu sekali.

"Gila, keren banget emang," decakku pada diriku sendiri. Aku merasa seperti wonder woman dengan tangan keriput karena terlalu lama bergelut di air. Well, aku tidak pernah menggunakan mesin cuci dalam hidupku. Aku tidak percaya dengan mereka.

Kutinggalkan para kain penutup yang disebut baju itu, lalu melangkah menuju kamar tempat semua orang berkumpul setelah seharian bekerja.

"Hai, zeyeng ... tante Sekar udah balik. Kuy main sama tante!" kataku sekonyong-konyong saat tiba di hadapan Nashwa.

"Jangan diajarin ngomong gitu lah, Kar. Emang kamu mau nanti disalahin karena Nashwa ngomong kay-kuy-kay-kuy pas ngajak orang tuanya ke kebun binatang?" protes mbak Lisa, sementara ibu sang bayi diam saja.

Calon emak memang secerewet itu  mungkin.

"Ya kali Nashwa ngerti, mbak. Dia aja sekarang cuma bisa nendang sama senyum doang," balasku kemudian beralih pada objek mainanku. "Iya kan sayang? Aduh ... cantik banget deh kamu! Panggil tante Sekar mama dong?"

Kutoel-toel pipinya yang gembul. Uh, kenapa bayi harus seimut ini, sih! Kan jadi pengen.

"Kalau mau dipanggil mama ya punya anak sendiri dong, Kar. Masa anak orang suruh manggil kamu gitu,"

Aku tahu ini tidak sopan, tetapi aku benar-benar tidak bisa menahan mataku untuk tidak berputar. Entah ini benar atau perasaanku saja, mbak Lisa semakin hari tingkahnya semakin mirip dengan suaminya. Suka banget nyinyirin aku. Kecurigaanku mengenai bagaimana sifat calon anak mereka semakin meruncing. Ini tidak bisa dibiarkan! Calon generasi emas tidak boleh gemar nyinyirin orang!

Sebelum aku membuka mulut, membalas mbak Lisa, terlebih dahulu mbak Karin menginterupsi.

"Davin udah hubungin kamu, Kar?"

Itu membuat mood bercekcokku seketika hilang. Ngapain sih, bahas orang itu lagi?! Seperti dia sangat penting saja.

"Belum," balasku seadanya. Memang belum kok. Demi Tuhan, bahkan aku sudah menyobek kalender bulan lalu.

"Kamu juga nggak hubungin dia?" lagi, mbak Karin bertanya.

Oh, please ya, sodara-sodara sebangsa dan setanah air. Untuk apa kita menghubungi orang yang bahkan tidak ada niatan menghubungi kita? Dia yang salah, harusnya peka untuk mengawali bicara dan meminta maaf.

Inginnya aku jawab begitu, tetapi yang keluar justru, "ndak, ngapain? Ndak penting juga,"

Aku sudah angkat tangan. Sudah pasrah jika sampai bulan depan tidak ada seorang lelaki pun datang pada ibu untuk meminta restu. Kalaupun akhirnya aku harus berakhir dengan dijodohkan, setidaknya aku bisa bebas dari gantungan mas Davin.

Awry [Lengkap]✔️Where stories live. Discover now