Part 4 ~ Filosofi 'Cukup'

1K 128 0
                                    

Tersenyumlah padaku, itu cukup membuatku merasa cukup


"Gila, sih,"

"Hah? Kenapa, mas?" langkahku terhenti, sedikit terkejut dengan makian mas Davin yang tiba-tiba.

Setelah kegiatan di kampus selesai, sudah menjadi kebiasaan mas Davin untuk menggandengku pulang. Aku tidak pernah tahu kapan jadwal mata kuliahnya selesai. Aku juga sudah memintanya untuk pulang terlebih dahulu jika kiranya terlalu lama menunggu, maksudku ... mungkin aku akan sangat lama saat praktik di lab. Kasihan kan?

Tetapi entah, aku selalu bisa melihat dia sudah mangkal di gerbang jurusan saat aku akan pulang. Menurutku itu adalah hal ter-gentle darinya semenjak melakukan pendekatan denganku. Aw, jadi malu.

Seperti sekarang, kami berjalan di trotoar menuju indekosku saat hari sudah hampir petang. Berjalan ke barat mengikuti matahari tenggelam. Suasana jalanan Jakarta yang khas akan ramainya mobil pegawai pulang kantor tidak membuat telingaku tuli dengan cercaan mas Davin tadi. Siapa yang gila? Apa dia sedang mencelaku?!

"Nih, lihat!" aku melihat ponsel yang dia berikan padaku. "aku nggak tau kenapa sekarang cewek-cewek pada matre! Tega banget ninggalin cowok yang dia pacarin bertahun-tahun cuma buat cowok tajir yang baru dia kenal tiga bulan!"

Sambil menengar lanjutan makian dari mas Davin, aku membaca judul sebuah artikel di ponselnya. Hanya sekilas. Aku tidak perlu repot-repot untuk mengetahui bagaimana isi seluruhnya, pria di sampingku ini sudah menjelaskan-tentu dengan perspektifnya sendiri.

"Biasa aja tuh," tanggapku sedikit abai. Mengembalikan ponsel, lalu lanjut berjalan.

Dia menyusul dan kembali meraih tanganku, "Kok biasa aja? Emang cewek matre-"

"Dia nggak matre mas!" sama dengannya, aku juga sedikit kaget dengan caraku memotong kalimatnya. Astaga, bagaimana ekspresiku tadi?

"Ehem, maksudnya ... matrealistis dan realistis itu dua hal yang jauh berbeda." Terangku sungkan. Perbedaan usia kami sedikit membuatku tak enak hati saat berdebat macam ini.

Dia masih diam, jadi aku melanjutkan, "gini ya, mas ... ini ... menurutku sebagai cewek loh ... jangan salah sangka. Kebahagiaan dari seorang perempuan bukan cuma tentang seberapa banyak prianya memberi kebahagiann batin dengan cintanya, melaikan juga seberapa cukup sang pria memberi kebahagiaan lahir dengan materilnya. Kalo menurut aku sih ... kebahagiaan perempuan adalah harga diri laki-laki juga, mas,"

Eh bener, ndak sih? Kok aku merasa lagi membuka sesi ceramah.

Ini cowok loh! Calon imam untuk seorang makmum sepertiku.

Haduh ... terserahlah, anggap saja aku sedang latihan tanya jawab dengan dosen.

"Oh ... gitu ya Kar?"

"Ya iya lah!" aku yang tadinya sungkan, kembali tersulut karena jawabannya yang polos buangeett ....

"Mas Davin belum pernah ngerasain jadi ayah, sih! Apalagi punya anak perempuan. Setiap ayah pasti pengen memastikan anaknya hidup bahagia, aman, sejahtera, berkecukupan. Enak aja udah capek-capek diberi makan bergizi, disekolahin sampe pinter, diantar sampe jadi orang yang sukses, eh ... malah diajak ngere sama suami!"

Apa-apaan ini? Kok aku jadi emosi? Tapi kan ini benar karena aku tahu sendiri bagaimana perasaan ayah saat punya anak perempuan sepertiku.

Aku menghela napas, "gini lo mas Davin yang ganteng ... emang sih, seorang perempuan yang hebat itu selalu ada dari suaminya masih nol dan sabar mendukung hingga dia sukses. Tapi ... menurut aku perempuan yang hebat itu adalah yang masih setia dan selalu menjadi penyemangat saat suaminya terjatuh di tengah pucak kesuksesan."

Awry [Lengkap]✔️Where stories live. Discover now