Part 12 ~ Aku Maunya Begini

634 65 3
                                    

Jangan membuatnya terlalu lama menunggu. Walaupun hatinya berjanji akan menanti, kita tidak tahu kapan logikanya sadar dan meminta untuk berhenti.


Aku pikir hidup terasa murung hanya jika kita tidak punya uang. Tetapi, penyakit bernama Galauitis bisa menjadi penyebab lain ternyata. Kedengarannya baru, tetapi ini sebenarnya adalah penyakit lumrah yang dialami oleh hampir semua umat manusia. Penyebabnya tidak lain karena membengkaknya keinginan hati yang disumpal oleh ego sendiri.

Sepele, tetapi efeknya luar biasa tidak mengenakkan. Melamun, murung, pusing, atau dehidrasi. Dan adegan ini terus berulang dari kemarin, sampai besok, besoknya lagi, dan besok-besoknya lagi.

Berkali-kali mbak Karin dan mbak Lisa mengingatkan agar tidak melamun sendiri di jendela kamar yang tingginya lumayan wow.

"Jangan bunuh diri! Dosa!" begitu kata mereka.

Astaghfirulah ... bahkan memikirkannya pun aku tidak berani. Hanya berusaha mencari ketenangan dan kejernihan dalam berpikir. Hanya itu. Bolak-balik menimbang, 'iyakan' saja permintaan mas Lintang atau lupakan dan kembali fokus menjadi jemuran kelewat kering mas Davin?

Sebetulnya ada bagian dari hati sudah memutuskan. Sedikit. Tetapi itu tidak cukup. Egoku masih menadi pemenang dalam perdebatan setiap malam.

"Cowok dua ndak ada yang bener," gumamku sambil menggeleng pelan setelah memikirkan apa yang terjadi belakangan ini.

"Mereka yang nggak bener atau kamu yang bingung sendiri?" aku turun dari jendela setelah mendengar suara mbak Karin yang menggendong Nashwa.

Sudah dua hari mereka menginap di tempatku. Kenapa? Takut aku frustrasi dan nekat melakukan hal yang tidak-tidak katanya. Kok ya boleh gitu loh sama suaminya.

Mbak Lisa juga ingin ikut-ikutan sebenarnya. Untunglah bisa dicegah Rihan dengan alasan kehamilan. Alhamdulillah ... setidaknya mbak Lisa tidak menambah kemumetanku dengan tingkahnya yang semakin tidak bisa santai.

"Belum tidur?" tanyanya setelah meletakkan Nashwa yang sudah kembali terlelap.

Aku membalasnya dengan senyuman, lalu mendekat agar bisa menoel pipi gembul Nashwa. Tentu saja dicegah mbak Karin. Dia tidak ingin anaknya bangun lagi karena alasan yang sama.

Aku mendesah kecewa. Terus ngapain, dong? Tidak ada kegiatan membuat Galauitis kembali datang. Membuatku puyeng.

"Mbak, kok aku belum dapat petunjuk juga ya? Aku tuh bosan tau, setiap hari mikirin ini ... mulu!"

Iya, kerja saja tidak bisa fokus. Ck, tidak profesional sekali. Melibatkan perasaan dalam pekerjaan. Untung saja usaha kami ini sangat fleksibel.

Yang ditanya malah menyengir. Seolah pertanyaanku itu tidak berkualitas sama sekali, "harus dijawab banget pertanyaan kamu?"

Gemas, kucubit pelan pinggangnya, membuat dia terlonjak geli. Gini amat punya kakak!

"Ya kamu habisnya lucu. Petunjuk yang kayak gimana lagi yang kamu pengen? Kalau mau cari peta, pinjam sama Dora," tawanya semakin menjengkelkan. Sepertinya mbak Karin tertular virus gaje-nya mbak Lisa, deh.

"Terserah!"

Aku benar-benar jengkel kali ini. Aku pikir dengan mbak Karin menginap, bisa membantu dalam menyelesaikan keruwetan, tetapi malah sebaliknya. Makin ruwet, cendol dawet!

"Gitu aja marah, ih!" kutepis telunjuknya yang mencolek daguku. "Oke sekarang serius."

Nah, gitu dong! Dari tadi kek!
Aku menoleh, bertemu dengan wajahnya yang berubah serius, namun tetap lembut.

Awry [Lengkap]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang