Part 29 ~ Dari Sisinya

2.3K 85 19
                                    

Ini adalah bagian terpanjang hidupku. Bagian terpanjang dalam sejarah perjuanganku untuk mendapatkan dirimu. Aku menikmatinya. Jadi, bisakah kita tidak mengakhirinya?


Hari ini terjadi terjadi seperti biasanya. Matahari masih terbit dari Timur lantas perlahan meninggi dengan sendirinya. Yang aku harapkan juga seperti biasa, aku berdoa agar hari ini lancar seperti biasa meski nyatanya tidak benar-benar demikian.

Tidurku terganggu dengan bayangannya kemarin. Saat hampir terpejam, otakku berpikir, bagaimana cara ia pulang dengan air mata yang berlinang sebanyak itu. Sekar pulang dengan selamat, bukan? Sekar baik-baik saja, bukan? Ah, gila saja aku harap dia baik-baik saja setelah melukainya. Maksudku, benar-benar melukainya.

Silakan salahkan aku karena memang ini salahku. Tetapi juga sebuah kesalahan jika aku tetap memaksa bersama Sekar saat ibunya sudah terang-terangan tidak mengizinkan, meskipun alasan usia yang terlalu dekat menurutku sangat tidak masuk akal. Sudah dengan nalar aku berusaha mencoba mengerti apa yang ibu Sekar bilang tempo hari lalu, sampai aku mendiamkannya bahkan tidak memberi ucapan atas bertambahnya usianya.

Kamu, tahu keluarga kami tidak utuh.” cukup tercengang aku dengan pernyataan yang terlontar dari lisan ibunya Sekar. Bukan alasan tidak lagi saling cinta, tetapi lebih dari itu. Apa lagi selain rasa menghormati?

Ayah pernah bilang jika kunci dari sebuah keutuhan keluarga bukanlah cinta, melainkan rasa hormat. Dengan rasa hormat, kasih sayang akan selalu subur, dan secara alami cinta akan selalu mengikuti.

Waktu itu, ibu Sekar mengakui jika perpecahan yang terjadi di keluarga mereka memanglah karena beliau. Sifatnya yang bebas, membuatnya lupa jika seorang suami merupakan pemimpin dalam hidupnya. Ditambah dengan usia mereka yang hanya terpaut satu tahun, membikin dirinya tidak menaruh rasa hormat pada suaminya dulu.

Beliau menyesal tentu saja, karena Sekar adalah korban dari perpecahan itu. Dari sini aku paham, jika ibu Sekar tidak ingin anaknya mengalami hal yang sama.
Itu yang makin memantapkan aku  untuk tidak memaksakan diri pada keinginan ibu Sekar. Aku paham, siapa yang tahu kehendak Tuhan? Tetapi mungkinkah aku tetap memaksa jika ibu yang melahirkannya tidak rela?

Untuk kesekian kalinya aku mengacak rambutku, lantas bersandar pada jok mobil. Tengkukku sakit sekali. Menormalkan napas, kutatap toko meuble yang beberapa hari aku tinggalkan. Aku harus tetap bekerja, setidaknya untuk pengalihan pikiran.

Kakiku pasti sudah melewati pintu utama toko jika seseorang tidak menarik kerah belakang bajuku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu, aku sudah kembali ke dasar tangga dan dan tersungkur di paving yang keras. Aku sadar itu sakit sekali setelah satu kepalan tangan mendarat di pipi kananku.

“Bajingan lu!” kata seorang laki-laki. Aku masih tidak jelas itu siapa.

Aku baru bisa melihat wajah marahnya setelah laki-laki ini menarik kerah kemejaku. Laki-laki yang sedang bersungut-sungut ini memaki tepat di depan wajahku. Siapa dia?

Masih setia dengan kebingungan atas siapa tamu yang datang, dia kembali memukul sembari mengucapkan sumpah serapahnya padaku dan menyebut nama Sekar.

Aku tersungkur lagi dengan rasa sakit lebih dari yang tadi. Sempat aku berpikir jika aku akan terbaring di rumah sakit jika seandainya tidak ada seorang wanita berperut sedikit buncit tergesa turun dari taksi, mencoba menahan laki-laki ini.

“Mas! Mas Rihan! Kamu gila, ya?!” serunya.
Oh, terima kasih juga kepada orang-orang yang sudah datang menghampiriku. Meski sebagian besar dari mereka hanya menonton, aku harap mereka akan mengerti jika disini aku adalah korbannya. Luka di bibirku adalah saksinya.

Awry [Lengkap]✔️Where stories live. Discover now