Part 8 ~ Harus Tiga Kali

805 87 2
                                    

Setidaknya saat kuberharap ada sedikit kewarasan dalam akal. Agar saat kecewa, bisa terhibur dengan batas ketahudirian


"Seriusan, Kari?!" kacang yang semula aman terkunyah di mulut mbak Lisa, terpaksa keluar kembali dengan cara yang tidak elit sama sekali.

"Ih, Jorok banget sih!" mbak Karin mengernyit membersihkan bajunya. Uh, aku tahu itu menjijikkan!

Saat akhir bulan, dimana tidak ada kerjaan,   kami lebih suka menghabiskan waktu di rumah mbak Karin yang ukurannya ... sangat terlalu untuk menampung rakyat jelata sepertiku. Ditemani dengan setoples kacang dan keripik kentang, beserta tikar sebagai alasnya, acara me-time berkelompok ini sudah terasa lengkap menurutku. Tidak perlu ke bioskop atau belanja di mall, kami sudah bahagia.

Meskipun rumah gedongan, kearifan lokal tetap terjaga. Apalagi ditambah dengan sesi ghibah ala himpunan perempuan yang penuh dengan nyinyiran terpendam, beuhh ... nikmat mana lagi yang kami dustakan?

"Ya maaf .... " yang membuat ulah menyengir tak enak pada tuan rumah. "abisnya Sekar sih,"

Aku melotot, "Loh, kenapa aku?"

"Ya iya lah ... kalo kamu nggak cerita gitu, aku nggak bakal kaget!" Mbak Lisa menjejalkan keripik kentang ke mulutnya kali ini. "Eh, tapi emang bener Davin sampai segitunya? Gila man ... dia aja belum ketemu ibu kamu!"

Pundakku kembali merosot. Mengangguk lemah mengingat peristiwa pertemuanku dengan mama mas Davin tempo hari lalu. Ingin marah tetapi mas Davin tidak ada di sini, ingin mengamuk tapi sayang barang-barang mahalnya mbak Karin.

Ya curhat saja.

Sambil terus memamah keripik, mbak Lisa berdecak, "heran ya tuh orang, kurang asem banget! Heh, Karin! Lo harus bertindak kalau udah begini. Ini tuh, nggak bisa dibiarin! Makin kurang ajar tuh-- uhukk ... uhukk ...."

Orasinya terhenti sejenak. Siapa suruh juga berbicara sambil makan?

"Duh ... gimana sih lo?!" hardik mbak Karin walaupun tetap memberi air pada mbak Lisa. Memang ya, mbak Karin itu galak-galak perhatian.

Menarik napas panjang, batuk mbak Lisa mereda, "lo tuh yang gimana?! Gue juga heran ya sama lo, adek sendiri nggak pernah dibela! Atau jangan-jangan lo udah disogok lagi sama si Davin itu! Ngaku lo!"

Mbak Karin memutar mata, aku pikir dia jengah dengan kalimat mbak Lisa, ternyata dia justru beralih menatapku sekarang, "kamu ... masih mau sama Davin, Kar?"

Aduh ... kenapa mbak Karin suka membuatku pening? Pertanyaannya itu loh, jelas sekali, nancap sekali, tanpa pengantar sama sekali!

Aku menggeleng, "ndak tahu,"

Jujur, aku memang bingung saat ini. Meskipun galau sebenarnya adalah hal yang sangat memalukan untuk dirasakan oleh orang seusiaku, tetapi jika itu kenyataannya mau bagaimana? Apakah hubungan ini serius? Jika tidak, kenapa mas Davin tidak segera mengabulkan keinginanku untuk menemui ibu? Dan jika hubungan ini hanya gurauan, apakah memang harus selama ini?

Atau jangan-jangan ... dia ....

Ah, itu tidak mungkin!

Tidak mungkin!

Mas Davin orang baik. Tidak mungkin kan dia sudah punya calon istri lain? Dan karena tidak tega, ia masih terus menjalani hubungan denganku. Ck, drama sekali otakmu, Sekar.

"Pakek nanya pula ... denger ya, sista, kelakuan Davin kali ini itu udah nggak bisa ditolerir. Emang lo mau semisal dulu mas Adit sebelum ngelamar, eh lo udah diumpanin ke calon mama mertua lo?" timpal mbak Lisa. Hati kecilku memanggut setuju.

Awry [Lengkap]✔️Where stories live. Discover now