Part 25 ~ Mencari Dukungan

483 46 1
                                    

“Mencintai yang harusnya dibenci adalah kemungkinan, dan membenci yang harusnya dicintai adalah kesakitan.”



Tidak ada yang lebih menenangkan dari angin sepoi-sepoi pedesaan malam hari. Suara jangkrik sudah terdengar dari maghrib tadi, sebagai pengganti lagu-lagu yang entah mengapa semakin membuat telingaku bosan dengan lirik patah hati yang itu-itu saja. Udara segar menggantikan rasa pengap yang baru saja hilang beberapa saat lalu.

Toko bapak memang selalu ramai.

Aku tidak menyangka rasanya akan sepegal ini walau hanya membantu dari balik meja pembayaran. Apa lagi mereka, karyawan bapak yang sedari pagi berlarian kesana kemari mengambilkan apa yang diinginkan para pembeli, kini sudah satu persatu meninggalkan kawasan toko untuk kembali ke rumah mereka sendiri.

Pernah aku mengusulkan untuk mengganti konsep toko bapak ini dengan konsep swalayan. Selain menguntungkan untuk tingkat penggunaan energi, konsep itu jauh lebih praktis. Dan seingatku respon bapak dulu seolah setuju dan terlihat mempertimbangkan gagasan itu, namun aku tidak tahu kenapa tak juga terealisasi hingga kini.

Karena tidak paham dengan bagaimana jalan pemikiran bapak, aku memilih melupakannya, lantas beralih pada rasa sakit di pinggangku. Berjam-jam duduk lumayan sakit juga. Aku harap ini bukan karena usiaku yang sudah hampir kepala tiga.

Beranjak dari kursi, kuangkat tanganku seraya memutar pinggul hingga suara patahan terdengar dari tulang-tulangku. Bibirku sempat mendesis antara rasa sakit dan lega menyerang bersamaan. Mataku sempat bersibobok dengan jam dinding kala melakukan peregangan kepala.

Pukul 22 dan bapak masih sibuk menghitung lembaran rupiah dengan buku serta kalkulator di hadapannya. Jangan lupakan juga kaca mata yang bertengger rendah di hidungnya, menambah kesan jika beliau memang seorang pekerja keras.

“Bapak, istirahat?” tawarku sekaligus ajakan sebenarnya.

Beliau menoleh, “Oh, iyaa … hampir selesai. Kamu duluan wae.

Sedikit kecewa, namun tetap mengangguk paham. Kutinggalkan bapak, menuju pintu belakang. Untungnya pintu itu bersinggungan langsung dengan rumah bapak.

Aku sudah membayangkan betap lembut dan empukanya ranjang kamar yang sudah kutempati beberapa hari terakhir. Inginnya segera melepas jilbabku karena rasa gerah dan gatal sudah mengganggu. Sayangnya, tepat saat aku meraih gagang pintu, “Nduk!

Bapak memanggil lembut.

Aku menoleh perlahan, “Dalem?”

“Mumpung masih di sini, tolong tutup pintu toko, ya?” pintanya menunjuk pintu toko yang tinggal terbuka separuh.
Tanpa diminta dua kali, aku sudah melangkah melaksanakannya. Siapa yang bisa menolak permintaan penuh senyum lembut macam itu?

Dan senyum itu yang beliau pasang di wajah untuk menenangkanku seusai kuceritakan kisah sedihku. Bagiku sekarang ini, hanya bapak yang paling mengerti apa yang dirasakn putrinya. Mendengar tanpa mengakimi adalah hal yang kubutuhkan. Oleh karenanya, kuputuskan untuk menetap di tempat bapak selama aku belum ingin kembali ke Jakarta. Ini lebih baik.

Percaya sama Gusti, semua akan baik-baik saja. Kita ndak pernah tau bagaimana proses diri dalam menemukan teman hidup sejati. Kamu tinggal nikmati rasa sakitnya, biar Allah yang mengaturnya.”

Kalimat itu yang semakin hari, semakin membuatku tenang. Mencoba ikhlas dan menjalani rasa sakitnya. Walaupun itu mungkin akan sedikit memakan waktu. Dan, ya aku sudah tidak menangis lagi sekarang. Meskipun kadang-kadang teringat saat menerawang. Teringat kembali rasa manis yang telah dia bagi dan pahit yang kini dia beri.

Awry [Lengkap]✔️Where stories live. Discover now