Part 26 ~ Mencari Dukungan II

483 45 0
                                    

“Yakinkah kamu akan tetap bertahan meski tahu jika hatiku nyatanya memang tidak bisa dipaksa?”

🐧

Aku yang kembali ke rumah ibu niatnya ingin menghindari masalah, tetapi sekarang justru menghampiri masalah. Memang sepertinya sisi bumi ini tidak ada tempat yang tenang dan nyaman untuk aku singgahi lagi.

Tanganku semakin mengerat pada tali tas jinjing berisi pakaian-pakaianku kala ibu sudah menengahi suasana canggung selepas aku dan mas Davin yang saling melempar kejut.

“Eh, itu Sekar sudah pulang, nak Davin mau masuk lagi?” ucap ibu. Jelas mas Davin kemari untuk mencariku.

Sempat aku berharap hal yang tidak mungkin untuk mas Davin menjawab ‘tidak’ dan langsung angkat kaki dari sini.

“I-iya, bu, terima kasih.”

Seperti itulah jawaban mas Davin yang membuat ibu kembali mendudukkannya di ruang tamu. Beserta diriku.

Tawa ramah ibu renyah sekali sebagai tuan rumah kali ini. Aku tidak menemukan hal ini pada tamu-tamu yang lain. Apa yang sedang ada di pikiran ibu?

“Sekar ini punya dua rumah, jadi kalau ndak lagi di Jakarta suka bolak-balik Kediri-Nganjuk,” ucap ibu diselingi kekehan.

Laki-laki blasteran ini mengangguk paham, “Iya, bu.”

Aku tidak mengerti apa yang lucu di sini, tetapi ibu terus saja tertawa ringan

“Ayo diminum dulu dong!” ibu mempersilahkan setelah mengisi ulang gelas dengan air sirup dingin di meja. Itu membuatku tertarik, bagaimana jika aku mengguyurkan air sirup itu ke kepalaku agar tidak terlalu bingung dengan situasi sekarang?

Selanjutnya ibu dan mas Davin bercengkrama ria. Mengabaikan aku yang sudah bak orang dungu di ruangan ini. Aku terlalu sibuk dengan pikiran dan kegugupan sendiri sehingga tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Kenapa ibu tidak membiarkan aku pergi saja, sih?!

Yang mencurigakan di sini, ibu sepertinya sangat welcome pada mas Davin yang notabene adalah orang baru bagi ibu. Dan yang paling membuat penasaran adalah untuk apa dia datang jauh-jauh ke sini.

“Bu, maaf sebelumnya.” untaian ramah tamah ibu terhenti akibat interupsinya. “Boleh saya pinjam Sekar sebentar?”

Sontak aku ternganga mendengarnya. Pinjam? Bagaimana nanti jika aku diapa-apakan?!

“Oh iya, ndak apa-apa. pasti nak Davin mau bicara sama Sekar to?”

Aku semakin tidak percaya dengan mudahnya ibu yang menyerahkan putri satu-satunya. Aku bicara lewat isyarat bibirku, “Ibu, yang benar saja!”

Sementara ibu belas dengan senyuman seolah menjawab, “Ya, beneran, dong.”
Dan aku sadar, aku tidak bisa menghindar dari yang satu ini.

______________________________________

“Kamu … apa kabar?”

Hanya pertanyaan seperti itu sudah membuatku lebih sakit kepala. Tolonglah, aku sudah lulus kuliah bertahun yang lalu, tetapi rasanya pertanyaan ini bahkan lebih sulit dari soal UAS dulu. Terlalu bohong dengan keadaan jika kujawab aku sedang bahagia atau biasa saja, karena jelas, aku-tidak-sedang-baik-baik-saja.

Keadaannya sungguh kontras dengan diriku. Dia masih tampan dengan wajah khas orang Barat seperti yang terakhir kulihat, masih rapih dengan gaya yang memang mencerminkan dirinya. Tidak terlihat kacau. Mas Davin memang pandai dalam menata hidupnya.

“Ngomong-ngomong, aku … baik.”

Seakan tidak memiliki dendam, dia masih memakai sikap pengertian itu padaku. Padahal secara tidak langsung, rasa penyesalan perlahan mengikis udara dalam diriku, membuat ruang dadaku makin sesak. Bukannya aku berharap dia akan membenci dan meluapkan rasa kesalnya padaku, tetapi bukankah lebih baik demikian?

Awry [Lengkap]✔️Where stories live. Discover now