Part 23 ~ Tempat yang Tidak Ada Kamu

511 48 0
                                    

"Ada tiga hal yang tidak bisa otakku mengerti.

Aku, kamu, dan kita."

🐧


Aku mungkin sedikit salah menafsirkan perkataan mbak Karin tentang libur yang ia paksakan tempo hari lalu. Sehingga aku sedikit kebingungan kala lilin-lilin yang biasanya sudah dihantarkan ke unitku tak kunjung datang pada jam sembilan. Itu sudah terlampau siang dari biasanya.

Kepalaku sudah pusing karena banyak hal negatif terbayang menghantui ke sna ke mari.

Bagaimana kalau kecelakaan? Begal?

“Astaghfirullah ….” ucapku menenangkan diri. Padahal aku sudah bak orang gila berjalan seperti seterika di parkiran depan. Bahkan aku masih ileran dengan mengenakan piyama panjang kemarin malam.

Aku semakin gusar sebab mbak Karin dan mbak Lisa yang sejak tadi tidak dapat dihubungi. Berusaha kutanamkan kemakluman pada setiap sel otakku karena mereka bukan seorang yang  melajang lagi. Bukan seperti diriku yang bahkan baru saja putus cin- Ah, bukan itu masalahnya sekarang!

Baiklah,  mereka mungkin masih sibuk menyambut pagi bersama keluarga. Hingga tepat setelah aku terduduk beralaskan pot bunga, ponselku berdering dengan nama yang kutunggu sejak tadi.

Assalamu’alaikum, mbak.

Gemas aku menjawab, “Wa’alaikumussalam. kamu di mana? Kamu ndak kenapa-kenapa, kan? Ndak lupa alamat apart saya, kan?”

Semakin kesal saat yang di seberang sana menjawab ‘hah?’ dengan nada bingungnya. Sepersekian detik kami diam, hingga ia menyentak seolah baru ingat akan sesuatu.

Oohh … mbak Sekar nungguin lilinnya?
Aku menggigit bibirku kesal sebelum menjawab, “iya!”

Itu … mbak Karin semalam pesan ke saya kalau lilin yang sudah jadi diantar kerumahnya mbak Karin aja. Jadi ya … pagi ini saya nggak ke unitnya mbak Sekar, lah.

Sukses aku menampar dahiku sendiri. Menggeram menahan kesal yang semakin di ujung kepala mengingat mbak Karin atau pun mbak Lisa tidak bilang padaku sebelumnya.

Emangnya mbak Sekar nggak tahu, ya?

Tidak. Aku benar-benar tidak tahu! Aku pusing!

Tanpa mengutarakan jawaban yang sebenarnya, segera saja kututup sambungan telepon seusai mengucap salam dan terima kasih. Sejatinya aku sudah ingin melapiaskan kekesalan, namun sisi warasku mengingatkan jika aku masih harus menahan emosi mengingat di mana aku kini. Akan semakin aneh jika orang-orang memandangi perempuan bermuka bantal marah-marah sendiri di antara kendaraan terparkir.

Dengan kekalangkabutan yang sudah mulai mereda, aku berjalan kembali ke unit. Ternyata ini yang dimaksud libur oleh mbak Karin. Benar-benar libur. Tanpa pekerjaan ataupun kesibukan lain, selain mengisi perut, bernapas, dan melamunkan laki-laki itu serta apa yang telah dia perbuat terhadapku.

Demi Allah dan Rasul-Nya, jika benar alasannya adalah kekacauan hatiku, apa mbak Karin tidak berpikir bagaimana aku menjalani hari dari fajar hingga senja? Aku butuh pengalihan pikiran dengan kesibukan, meski sekadar mengemas lilin-lilin ke dalam kardus seperti biasanya.

Awry [Lengkap]✔️Où les histoires vivent. Découvrez maintenant