1 | Kisah yang Berpusat pada mereka

43.1K 3.8K 154
                                    

"Nomor 3. Shīna jelaskan jawabannya!" Bu Fey mengatakannya dengan sangat jelas. Walaupun usianya sudah memasuki angka 43 tahun, semangatnya tentang mengajar bahkan lebih tinggi dari guru yang lebih muda.

Aku berdiri dengan buku catatan biologi di tangan kiriku. Tertunduk, aku mulai membaca apa yang tertulis disana. "Pertanyaan nomor 3. Jelaskan Fase pernafasan dada (Inspirasi dan Ekspirasi)!"

"Pada fase inspirasi, terjadi kontraksi otot diafragma sehingga rongga dada membesar. Akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk."

"Sedangkan, pada fase ekspirasi merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot diaframa ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk. Hal ini menyebabkan rongga dada menjadi kecil," jelasku.

"Bagus! Selanjutnya, emmm ..." Bu Fey melihat kolom absen yang dia pegang.

Sama seperti biasanya, dia selalu menunjuk siswa secara acak bermodalkan buku absen.

"Lia Maharani. Nomor 4"

Semua orang tertuju pada seorang gadis bernama Lia. Wajah yang kusut, dan tangan yang gemetaran. Lia mulai berdiri dengan mata berkaca-kaca.

Aku mengingat kembali sesaat sebelum bel masuk berbunyi. Anak itu mencari buku catatannya kemana-mana. Melihat respon dia yang sekarang, kemungkinan besar buku itu belum ditemukan.

"Bu ... maaf, buku catatan saya hilang," parau Lia. Mulutnya gelagapan menunggu respon dari Bu Fey.

Aku melihat sekitar, beberapa orang mulai tertawa, dan tersenyum sinis melihat Lia dalam kondisi seperti itu. Kejadian ini memang sudah biasa terjadi di kelas. Anak yang menjadi bahan rundungan, dan tidak diakui keberadaannya.

Ku alihkan pandangan pada Septi, tersangka utama yang pasti pelakunya, anak itu tampak memainkan rambut dengan senyum kemenangan.

Aku kembali menatap lurus, memandang punggung Lia dari belakang. Anak itu dalam postur tegang sekarang. Wajar ... Bu Fey sangat ketat dalam pengajarannya.

"Kenapa bisa hilang?" Bu Fey bertanya memastikan.

"Sa-, saya gak tau Bu. Tadi padahal ada."

Penjelasan yang bisa Lia berikan hanya sebatas itu. Bahkan jika dia mengatakan bahwa ada seseorang yang menyembunyikan bukunya. Tak akan ada yang percaya. Semua orang berpihak pada Septi, begitupun denganku. Menjelaskan hal itu lebih lanjut, tampaknya hanya akan menjadi pukulan kemunduran bagi Lia.

"Lia kamu tau, kan metode mengajar saya?"

Guru bukan tuhan yang maha tahu, ketika muridnya mengatakan buku itu hilang, tidak dibawa, atau apapun itu, tidak ada jaminan bahwa itu memang benar. Bisa jadi siswa itu hanya berbohong karena lupa mengerjakan.

Karena itu sejak awal semester Bu Fey sudah menjelaskan, jika ada kasus dimana siswa tidak bisa menyerahkan hasil pekerjaannya seperti situasi sekarang. Maka Bu Fey akan menganggap bahwa siswa itu tidak mengerjakan, terlepas dari apa yang sebenarnya terjadi.

Perjanjian dibuat diawal semester, dan itu semua disanggupi oleh seluruh siswa di kelas. Perjanjian yang saat ini justru menjadi bumerang baginya.

"Saya tau Bu."

Mengatakan itu dengan pasrah, Lia tahu apa yang akan Bu Fey lakukan. Dia beranjak dari kursinya dan menunduk malu.

"Makanya jangan males Lia." Septi yang duduk tidak jauh darinya, mengatakan hal itu dan membuat seluruh siswa menunjukan senyum meremehkan mereka.

Lia tertegun, padahal semua orang di kelas juga tahu bahwa ia hanyalah korban. Tapi karena hal ini sudah sering terjadi, lambat laun, orang yang awalnya peduli pun sekarang berpaling dan menikmatinya sebagai pertunjukan.

"BU!"

Teriakan terdengar dari ujung kelas. Siswa bernama Aldo berdiri dengan muka merah padam. "Bu. Lia udah ngerjain bu. Buku dia diumpetin," Tidak dapat mengatur nafasnya Aldo kemudian melanjutkan. "Sep. Mendingan lo ngaku aja deh!"

"Loh kok gue?" Mendapat tudingan secara langsung, Septi tidak terima. Dia balas melotot ke arah Aldo,

"Sep! Semua orang juga tahu kalau itu elo. Ini bukan yang pertama kalinya."

Seperti yang Aldo katakan, ini bukan yang pertama kalinya. Kenyataan bahwa aku menuduh Septi pun karena memang sudah jelas dia pelakunya. Memang siapa lagi yang mempunyai motif untuk melakukan hal seperti itu pada Lia?

"Lo punya bukti apa hah?. Lia itu pada dasarnya-"

"SUDAHH CUKUP!"

Semua orang kembali memusatkan perhatiannya pada Bu Fey, ia tampak dalam keadaan geram sekarang. Bu Fey menelisik seluruh siswa di kelas satu persatu, membuat mereka diam dan membisu.

Matanya menyorot tajam, membuat aura kelas berubah. Seakan berada dihadapan pemangsa, sekarang kami hanya bisa diam.

"Lia. Tunggu apalagi? Cepat keluar sekarang!"

Hukuman bagi Lia sudah ditetapkan. Lia akhirnya berjalan keluar dari kelas dalam keheningan.

"Dan kalian! Kalau ada yang berisik lagi, saya akan keluarkan juga!"

Bu Fey mengakhiri peringatannya, dan kembali membuka buku absen.

"Lanjut nomor 4. Saya ganti dengan Rian. Cepat bacakan soal dan jawabannya!"

Orang  bernama Rian yang duduk paling depan, berdiri dalam keheningan. Menjadi orang yang selanjutnya dipilih setelah keadaan tegang tadi sungguh bukanlah keberuntungan. Butuh keberanian lebih untuk melakukannya.

Rian memegang memegang bukunya dengan erat. Ia kemudian mulai membacakan jawaban yang diminta.

.

.

🌹
.

.

"Sep. Salah gue sama lo apa sih?, Gue gak ada urusan sama lo." Mengatakan itu dengan kening yang mengkerut. Lia sepertinya sudah benar-benar marah. "Lo gak usah ikut campur urusan gue sama Queenzie, gak usah ikut ganggu-ganggu gue!"

Fakta bahwa Septi hanyalah kaki tangan dari dalang yang sebenarnya juga sudah diketahui oleh seluruh orang di kelas. Tidak. Tapi seluruh angkatan. Jika ada suatu hal buruk terjadi pada Lia, itu pasti adalah perbuatan Queenzie, terlepas dari siapa pelakunya. -Queenzie- orang itu mempunyai terlalu banyak dayang di sekolah.

"Kalau gue gak mau gimana? Suka-suka gue dong, mau bantuin Queenzie atau enggak."

Septi tidak menyangkal bahwa dia hanyalah kaki tangan. Anak itu memang yang terdekat dengan Queenzie, lebih dari sekedar wayang tampaknya rasa kepercayaan pun telah berkembang sangat jauh.

"Kalian tuh mikir gak sih sama orang-orang yang kalian risak? Salah Lia apa sih sama kalian?!" Aldo tampak membantu.

Di kelas ini, hanya Aldo yang ada untuk Lia. Walaupun tahu bahwa cintanya tak berbalas, cowok itu masih tampak melindungi orang yang dicintainya.

"Salah dia? ..." Septi memberikan jeda pada kata yang akan dia berikan. "BANYAK!" Senyuman miris terpampang untuk mereka berdua. Bagi Septi kedua orang dihadapannya itu benar-benar menyedihkan.

Ini adalah cerita yang diberitahukan oleh teman sebelahku.

Septi yang ditolak mentah-mentah oleh Aldo, berbalik dari cinta menjadi benci. Bahkan jika Queenzie tidak memerintahkannya untuk membully Lia pun, dia akan dengan senang hati melakukannya dengan inisiatif sendiri.

"Bahkan hidup pun udah salah kalau buat Lia!"  Matanya menyorot tajam pada anak berambut sedada itu.

Mengambil handphonenya dari meja, Septi mulai melangkah keluar dari kelas.

Cerita yang menarik bukan?

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang